Ingin Tauuu...?

Selasa, 06 April 2010

NASIB HADIS DI TANGAN PERIWAYATNYA

Oleh: Ahmad Fudhaili

I.PENDAHULUAN

Hadis pada hakekatnya adalah perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun sifat-sifat yang terdapat pada diri Rasulullah saw. Para sahabat yang langsung bertemu dengan Rasululllah saw. dapat mendengar, melihat dan menyaksikan seluruh peristiwa yang terjadi pada masa dan pada diri Rasulullah saw. mereka tidak memerlukan perantara untuk mendapatkan informasi dari atau tentang Nabi saw.
Orang-orang yang tidak dapat menyaksikan atau mendengar langsung dari Rasulullah saw. memerlukan perantara orang lain untuk dapat menerima informasi dari atau tentang Rasulullah saw. Semakin jauh jarak waktu dengan Rasulullah saw. semakin banyak dan panjang rangkaian periwayat hadis yang dibutuhkan. Rangkaian periwayat hadis ini disebut dengan sanad. Oleh karena itu kedudukan rangkaian sanad sangat penting dalam sebuah periwayatan hadis. Sangat pentingnya kedudukan sanad Muhammad ibn Sîrîn (w. 110 H.) mengatakan :
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesunguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, perhatikanlah dari siapa engkau memperoleh agamamu.”.

’Abdullâh ibn Mubârak (w. 118 H.) berkata :
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah bagian dari agama, tanpa adanya sanad siapapun dapat mengatakan apa yang dikehendakinya”

Kedudukan sanad juga sangat menentukan kwalitas sebuah hadis. Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa seorang periwayat hadis sangat menentukan sebuah dapat diterima atau tidak diterima, karena sanad adalah rangkaian para perawi hadis yang menyampaikan kepada materi (matan) hadis dari sumber asalnya (Rasulullah SAW.)”
Apabila ada seorang periwayat hadis dari seluruh rangkaian sanad sebuah hadis yang terindikasikan berdusta maka seluruh rangkaian hadis tersebut menjadi cacat dan matan hadis tertolak, sekalipun dimungkinkan bahwa hadis tersebut bersumber dari Rasulullah, karena ada seorang periwayat hadis yang tercela (jarh), maka seluruh hadis tersebut menjadi cacat.

II. PEMBAHASAN

A. Dominasi Persyaratan Sanad (Periwayat Hadis) dibandingkan Matan (Materi Hadis) dalam Penerimaan Hadis.

Hadis-hadis yang sampai kepada kita adalah melalui rangkaian perawi-perawi hadis, maka mereka menjadi sorotan utama kritik untuk mengetahui shaheh tidaknya sebuah hadis. Oleh karena ulama-ulama hadis memfokuskan perhatiannya kepada para perawi hadis, maka mereka menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk menerima atau menolak sebuah periwayatan. Sehingga banyak hadis-hadis yang telah terkodifikasi ditolak setelah adanya penelitian kepada para perawi hadis. Berita-berita tersebut menjadi cacat disebabkan cacatnya para perawi. Maka tidak semua berita yang didengar dapat diterima sebelum adanya penelitian. Umar ibn Khattab mengatakan: “Cukuplah seorang dikatakan berdusta dengan sebab menceritakan setiap yang didengarnya”
Sebuah hadis dapat diterima (maqbûl) periwayatnnya apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hadis tersebut berpredikat maqbûl. Para ulama hadis menetapkan persyaratan dapat diterimanya sebuah hadis dengan lima syarat. Lima syarat ini biasanya dinyatakan sebagai persyaratan shaheh-nya sebuah hadis . Lima syarat tersebut adalah:
1. Rangkaian sanad (perawi hadis) bersambung. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadis yang munqati’ , mu’addal , mu’allaq , mursal , mudallas dan mursal khafî .
2. Hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang adil. Yang dimaksud adil adalah orang yang konsisten (istiqâmah) dalam menjalankan agamanya, berakhlak mulia, terperlihara dari sifat-sifat fasiq dan dapat menjaga murû’ah. Dengan persyaratan ini maka tidak dapat diterima hadit matrûk.
3. Hadis tersebut diriwayatkan oleh para perawi yang dâbit. Yang dimaksud dengan dâbit adalah seorang perawi memperhatikan ketika hadis tersebut dibacakan dan memahami apa yang didengar dan menghafalnya, dapat menjaga hafalannya semenjak ia mendegar hadis tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakannya kembali kepada orang lain (al-adâ’). Seorang perawi disebut hafîdz (hafal) dan ‘âlim (berilmu) apabila ia meriwayatkan hadis dari hafalannya. Dan dia dikatakan fâhim (mengerti) apabila ia meriwayatkan hadis dari pengertian yang dipahaminya (ma’nawî). Seorang perawi juga harus dapat memelihara catatan hadisnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mengganti atau menukar dari bentuk aslinya . Dengan persyaratan ini maka tidak dapat diterima hadis yang mudraj dan maqlûb .
4. Tidak ada kejanggalan (syâdz) dalam matannya. Yang dimaksud dengan syâdz adalah periwayatan orang yang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah (autsaq minhu).
5. Tidak ada kecacatan (‘Illat) dalam matanya. Hadis mu’allal (yang ada cacatnya) adalah hadis yang zahir-nya tidak tampak adanya cacat, akan tetapi dapat diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam. Seperti menganggap mursal hadis yang mausûl , menganggap mausûl hadis yang munqati’ atau menganggap marfû’ hadis yang mauqûf .
Lima persyaratan yang disebutkan di atas adalah persyaratan dapat diterimanya sebuah periwayatan. Lima persyaratan ini biasanya digunakan sebagai definisi hadis sahîh:
الصحيح هو مااتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوّله إلى منتهاه من غير شذوذ ولاعلّة
“Hadis sahîh adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan para perawi yang tsiqah dari awal hingga akhir sanad tanpa adanya kejanggalan (syâdz) dan kecacatan (‘illat).”

Lima persyaratan yang disebutkan adalah persyaratan yang telah disepakati oleh para ulama hadis. Di samping lima persyaratan di atas ada beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi. Akan tetapi persyaratan tambahan ini tidak disepakati oleh para ulama dan hanya bersifat individu, karena lima persyaratan pertama dianggap telah cukup untuk menentukan shaheh tidaknya sebuah hadis. Syarat-syarat tambahan tersebut adalah:
1. Perawi hadis harus orang yang dikenal sebagai ahli hadis (Masyhûr bi al-Talab). ‘Abdullâh ibn ‘Aun mengatakan: “Ilmu (hadis) tidak dapat diambil kecuali dari orang yang ahli”. Abû Zinâd mengatakan: “Aku menjumpai seratus orang yang terpercaya di kota Madinah, tetapi tidak ada hadis yang diambil dari mereka, karena mereka bukan ahlinya”. Persyaratan ini dianggap telah tercakup dalam persyaratan dâbit pada persyaratan yang lima.
2. Perawi hadis telah diketahui sebagai orang yang pandai, cerdas, sering mendengar hadis tersebut dan telah membacakannya secara berulang-ulang. Persyaratan ini dianggap telah tercakup dalam persyaratan “tidak adanya ‘illat”.
3. Perawi harus memahami makna hadis, apabila ia meriwayatkan dengan makna. Persyaratan ini dianggap telah tercakup dalam persyaratan dâbit.
4. Abu Hanifah mensyaratkan faqîh (mempunyai pemahaman yang mendalam) kepada seluruh perawi hadis.
5. Imam Al-Bukhârî mensyaratkan kepastian (tsubût) mendengar langsung dari gurunya bagi setiap perawi, tidak cukup hanya dengan kemungkinan (imkân) berjumpa dengan gurunya atau hidup sejaman dengan gurunya. Akan tetapi persyaratan ini hanya dimiliki oleh Imam Al-Bukhârî. Dengan persyaratan ini menjadikan posisi periwayatan Imam Al-Bukhârî sebagai periwayatan yang paling shaheh diantara hadis-hadis shaheh lainnya..
6. Adanya beberapa perawi dalam setiap periwayatan, seperti persaksian.
Lima persyaratan yang disebutkan di atas sebagai persyaratan dapat diterimanya sebuah hadis (maqbûl) yang telah disepakati oleh para ulama hadis ditambah enam persyaratan lainnya yang tidak disepakati, secara keseluruhan hampir mengindikasikan kepada persyaratan sanad saja, sedikit sekali yang mengarah kepada persyaratan matan. Kecuali dua persyaratan, yaitu terbebas dari kejanggalan (syâdz) dan kecacatan (‘illat). Dua persyaratan ini juga berlaku untuk sanad. Untuk menentukan ada atau tidaknya kejanggalan (syâdz) dan kecacatan (‘illat) pada matan kembali kepada standar persyaratan sanad, karena hadis syâdz adalah periwayatan orang yang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah (autsaq) . Maka dapat disimpulkan bahwa dalam persyaratan hadis maqbûl (dapat diterima) hampir dapat dikatakan mengenyampingkan persyaratan matan. Hal ini dapat dimengerti, karena apabila sebuah informasi telah dipastikan bersumber dari Nabi Muhammad saw. maka tidak ada gunanya mengomentari hadis tersebut karena Nabi saw. terpelihara dari dosa (ma’sûm) dan perkataannya pasti benar.

B. Kode Etik Penilaian kepada Perawi Hadis

Pada saat ini sulit bagi para peneliti hadis untuk dapat melakukan penilaian (jarh wa ta’dîl) terhadap para periwayat hadis, atau menemukan data baru tentang kredibilitas mereka, karena generasi sekarang hanya dapat menegetahui kredibilitas seorang periwayat hadis berdasarkan informasi dari data yang telah diterbitkan. Data tersebut berdasarkan penilaian orang lain yang mengetahui tentang keberadaan seorang periwayat hadis. Jadi pada hakekatnya, orang yang tidak mengetahui keberadaan seorang perawi hadis harus percaya kepada pengarang kitab-kitab yang memuat tentang biografi periwayat hadis. Kita harus percaya kepada Imam Al-Bukhârî, pada saat kita menilai seorang periwayat hadis dengan menggunakan kitab al-Du’afâ al-Saghîr, atau kita harus percaya kepada imam Nasâ’î ketika kita menggunakan kitab al-Du’afâ wa al-Matrûkîn, atau kita harus percaya kepada al-Râzî ketika kita menggunakan kitab al-Jarh wa al-Ta’dîl. Kepercayaan kita kepada pengarang kitab-kitab tersebut juga berlaku kepada orang-orang yang dijadikan sumber berita oleh para pengarang kitab tersebut.
Kepercayaan kita kepada para penilai hadis bukanlah tanpa dasar, karena setiap ulama yang melakukan penilaian kepada seseorang mempunyai kaedah-kaedah dan kode etik tersendiri yang telah disepakati. Kaedah-kaedah yang harus dipegang dalam penilaian sanad (periwayat hadis) adalah:
A. Terpercaya (amânah) dan ikhlas dalam memutuskan hukum, karena mereka harus memaparkan tentang keberadaan seorang perawi baik sisi negatif ataupun positifnya. Muhammad ibn Sîrîn (w. 110 H.) mengatakan: “Aku berbuat zalim apabila hanya memaparkan kejelekannya saja tidak kebaikannya.” Mereka memaparkan ini hanya karena Allah, dengan tujuan untuk memelihara hadis Rasulullah SAW. tanpa adanya tekanan dari pihak manapun atau adanya rasa takut. Tujuan mereka hanya menjaga sumber-sumber syari’at sehingga mereka harus jujur dan ikhlas, tanpa memandang bapak, anak, saudara bahkan diri mereka sendiri. Syu’bah ibn Hajjâj (w. 160 H.) pernah dikritik ketika meriwayatkan hadis.“Engkau disalahkan dalam meriwayatkan hadis ini”, Syu’bah bertanya:“Siapa yang menyalahkan aku?”, “Sufyân al-Tsaurî”, Syu’bah menjawab: “Tinggalkan hadisku karena Sufyân al-Tsaurî lebih hafal dibandingkan aku” . Abî Zakariyâ Yahy ibn Syarf al-Nawawî (631-676 H.) menuturkan: “Demi Allah, apabila aku berbuat jujur sebanyak 99 kali, kemudian aku berbuat salah satu kali saja, maka peganglah perbuatanku yang satu itu.” Yahya ibn Sa’îd al-Qattân (w. 198 H.) pernah ditanya:“Apakah engkau tidak takut apabila orang-orang yang engkau tinggalkan hadisnya akan menggugat engkau dihadapan Allah nanti?, Yahya ibn Sa’îd al-Qattân menjawab:“Aku lebih suka mereka menggugat aku daripada aku digugat Rasulullah SAW., apabila beliau bertanya: ‘Mengapa engkau terima hadis tentang aku, padahal engkau tahu dia berdusta?” . Hal-hal semacam inilah yang menajaga keteguhan niat ikhlas mereka, tanpa mengikutsertakan kepentingan-kepentingan pribadi ataupun golongan, karena unsur-unsur tersebut dapat membatalkan kritikan. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Subqi:“…Hati-hati memahami bahwa jarh diutamakan daripada ta’dîl secara mutlak, karena jika seorang telah pasti kejujurannya dan keadilannya, banyak pujian yang dilontarkan kepadanya, dan sedikit sisi negatifnya (jarh), maka pastikan terlebih dahulu tidak adanya indikasi fanatisme mazhab atau lainnya pada diri si pengkritik…, karena tidak seorangpun diantara kami –para ulama- yang luput dari perhatian dan kritikan yang tajam.
B. Teliti dan cermat dalam mengambil keputusan. Para ulama jarh wa ta’dîl telah melakukan penelitian yang sangat cermat terhadap seorang perawi sebelum ditentukan status mereka, sehingga mereka tahu setiap kegiatan yang dilakukan oleh seorang perawi hadis , masa pikunnya (apabila dialami), ke dâbit-annya, tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada perawi harus diketahui oleh seorang peneliti perawi hadis. Untuk itulah para ulama jarh wa ta’dîl mencari informasi dari berbagai sumber terpercaya untuk menanyakan satu hal yang berkaitan dengan seorang perawi. Seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Rahmân ibn Mahdî (w. 198 H.) menanyakan kepada Syu’bah ibn Hajjâj (w. 160 H.), ’Abdullâh ibn Mubârak (w. 118 H.), Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H.) dan Mâlik ibn Anas (w. 179 H.). Begitu juga Yahya ibn Sa’îd al-Qattân (w. 198 H.) bertanya kepada Syu’bah ibn Hajjâj (w. 160 H.), Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H.), Mâlik ibn Anas (w. 179 H.) dan Sufyân ibn ‘Uyainah (w. 198 H.) hanya untuk menanyakan satu tuduhan yang dilontarkan kepada seorang perawi hadis.
C. Berpegang pada kode etik. Ulama jarh wa ta’dîl mempunyai kode etik tersendiri dalam melakukan kritik terhadap para perawi hadis, yang kesemuanya mempunyai pengertian dan drajat tersendiri bagi perawi yang telah ditetapkan. Seperti tingkatan yang paling berat untuk jarh mereka menggunakan kata Akdzâb al-Nâs (manusia yang paling dusta), sedangkan untuk tingkatan jarh yang paling ringan mereka menggunakan kata: Hadîts Da’îf (hadis lemah) atau fîh maqâl (diperbincangkan). Begitu pula dalam ta’dîl mereka menggunakan kata-kata tertentu. Seperti untuk tingkatan paling tinggi dalam ta’dîl mereka menggunakan kata: Autsaq al-Nâs (manusia yang paling kuat hafalannya) atau Atsbât al-Nâs. Sedangkan untuk tingkatan ta’dîl yang paling rendah mereka menggunakan kata Sâlih, Yuktabu Hadîtsuh atau Sâlih al-Hadits. Semuanya mempunyai pengertian/definisi tersendiri, walaupun pada hakekatnya tidak seperti apa yang disebutkan dengan kata-kata tersebut. Akan tetapi ada pula ulama yang tidak menggunakan kata-kata seperti itu untuk memponis seorang perawi sekalipun mempunyai pengertian yang sama. Seperti kata Lam Yakun Mustaqîm untuk menunjukkan seorang perawi pendusta. Imam al-Muzanî menuturkan: “Pada suatu hari imam al-Syafi’i mendengan aku mengucapkan kata “fulân kadzdzâb”, kemudian al-Syafi’i menegur aku, “Wahai Ibrahim!, Jangan engkau katakan fulân kadzdzâb cukup katakan “Hadîtsuh Laisa bi Syai’”
D. Global dalam ta’dîl dan terinci dalam tajrîh. Imam al-‘Iraqî melantunkan sya’ir:
وصحّحوا قبول تعديل بلا × ذكر لأسباب له أن تثقّلا
ولم يروا قـبول جـرح ابهمـا × للخلق فى أسبابه وربّما
إستفسر الجرح فلم يقدح كما × فسّره سعبة بالركض فما
Para ulama menerima ta’dil dengan tanpa perincian karena sulitnya.
Tapi mereka mereka menolak jarh terhadap seseorang tanpa menjelaskan sebabnya
Merinci jarh bukanlah perbuatan tercela, sebagaimana yang dilakukan oleh Syu’bah

Dalam ta’dîl para ulama cukup mengatakan; tsabt, tsiqah atau saddûq, tanpa menjelaskan sebabnya karena sangat banyak dan beragam. Lain halnya dalam masalah jarh, hal ini harus dijelaskan secara terperinci, karena orang dapat berbeda pendapat dalam menetapkan ke-da’îf-an seorang perawi, mungkin bagi seseorang hal itu menjadi sebab ke-da’îf -annya, tetapi tidak menurut orang lain. Oleh karena itu disyaratkan menyebutkan secara terperinci dan menjelaskan sebab-sebab jarh.
Terperinci dalam menjelaskan jarh tidak dalam ta’dîl karena seseorang dapat diponis negatif hanya dengan melakukan satu hal yang dianggap negatif, maka tidak sulit menjelaskannya. Sedangkan seseorang belum tentu dapat diponis positif sekalipun telah banyak melakukan hal-hal yang dianggap positif, karena itu sangat sulit dan banyak hal-hal yang harus disebutkan.
Adapun bagi ulama yang melakukan kritik (jarh wa ta’dîl) harus memenuhi persyaratan:
1. ‘Âlim (berilmu)
2. Bertaqwa
3. Warâ’ (termasuk menjauhkan diri dari perbuatan yang subhat (samar hukumya)
4. Jujur
5. Tidak ada cacat (jarh)
6. Tidak panatik mazhab
7. Mengetahui secara pasti dan mendalam orang yang dikritiknya.
Apabila syarat-syarat ini tidak dapat terpenuhi maka hasil kritikannya tidak dapat diterima.

C. Contoh Kasus Keberadaan Hadis yang Tergantung pada Periwayatnya

1. Perawi Lemah (da’îf) masuk dalam Kitab Sahîh.
Nasib sebuah hadis tidak hanya bergantung kepada periwayat (sanad), tetapi juga kepada para kolektor hadis. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi lemah (da’îf), akan tetapi hadis ini masuk dalam kitab yang dianggap paling sahih dan menjadi standar kesahihan kitab lainnya, yaitu kitab Sahîh al-Bukhârî. Mungkin tidak seorangpun yang mencurigai adanya kecacatan pada hadis di bawah ini, karena hadis ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak diragukan kredibilitasnya. Redaksi hadis tersebut adalah:

حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا حُصَيْنٌ ح قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ و حَدَّثَنِي أَسِيدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ حُصَيْنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَأَخَذَ النَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الْأُمَّةُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ النَّفَرُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الْعَشَرَةُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الْخَمْسَةُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ وَحْدَهُ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ قُلْتُ يَا جِبْرِيلُ هَؤُلَاءِ أُمَّتِي قَالَ لَا وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ قَالَ هَؤُلَاءِ أُمَّتُكَ وَهَؤُلَاءِ سَبْعُونَ أَلْفًا قُدَّامَهُمْ لَا حِسَابَ عَلَيْهِمْ وَلَا عَذَابَ قُلْتُ وَلِمَ قَالَ كَانُوا لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ إِلَيْهِ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ آخَرُ قَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ

Hadis ini “beruntung” masuk dalam kitab sahih, sekalipun ada seorang perawi yang dianggap lemah yang seharusnya tidak patut masuk dalam kitab sahîh. Secara keseluruhan perawi hadis ini tidak bermasalah kecuali seorang perawi Asîd ibn Zaid ibn Najîh al- Jammâl al-Qurasyî, tahun wafatnya tidak pasti diperkirakan beliau wafat sebelum tahun 220 H. Tidak ada seorangpun dari ulama hadis yang men-ta’dîl (menilai positif) terhadap Asîd ibn Zaid.
Penilaian ulama terhadap Asîd ibn Zaid :
• Al-Dâr Qutnî  Da’îf al-Hadîts (Hadisnya Lemah).
• Abû Hâtim al-Râzî Yatakallamûn fîh (Diperbincangkan).
• Ibn ‘Adî Yatabayyanu ‘alâ Riwâyatih al-Da’f
(Riwayatnya jelas-jelas lemah).
• Al-Nasâ’î  Matrûk (Ditinggalkan).
• Yahya ibn Ma’în Kadzdzâb (Pendusta).
• Al-Khatîb Ghair Mardî (Tidak direstui).
• Nâsir al- Dîn al-al-Bânî memasukkannya dalam karyanya
Al-Silsilah al-Da’îfah,
• Jalâl al-Dîn al-Suyûtî  memasukkan dalam karyanya
Al-Âlâi al-Masnû’ah ‘alâ al-Ahâdits
al-Maudû’ah.
Imam al-Bukhârî memasukkan Asîd ibn Zaid dalam kitab sahîh -nya menjadi cacat bagi Imam al-Bukhârî. Akan tetapi Ibn Hajr Al-‘Asqallânî dalam Fath al-Bârî fî Syarh Sahîh al-Bukhârî mengatakan mungkin imam al-Bukhârî menganggap Asîd ibn Zaid adalah orang yang ‘adil. Pernyataan ini mungkin saja dapat diterima karena Asîd ibn Zaid adalah salah seorang guru imam al-Bukhârî, akan tetapi berapa banyak riwayat-riwayat lain yang beliau dapatkan dari guru-guru beliau tapi tidak dimasukkan dalam kitab sahîh-nya karena ada penilaian negatif terhadap mereka.
Tidak ada seorangpun dari kolektor hadis yang memasukkan Asîd ibn Zaid dalam karya mereka kecuali untuk menjelaskan cacat yang terdapat pada hadis tersebut, karena status jarh Asîd ibn Zaid sampai pada kategori kadzdzâb (pendusta). Akan tetapi hadis ini selamat karena ada pendukung dari beberapa perawi yang dapat diterima (tsiqah). Pertanyaannya adalah mengapa imam al-Bukhârî menyertakan Asîd ibn Zaid dalam kitab sahîh-nya. Seandainya Asîd ibn Zaid tidak dicantumkan sudah memenuhi seluruh standar periwayatan. Tercantumnya nama Asîd ibn Zaid dalam kitab sahîh al-Bukhârî justru melemahkan kredibilitas imam al-Bukhârî sendiri, walaupun tidak secara keseluruhan periwayatan imam al-Bukhârî menjadi cacat. Kemungkinan imam al-Bukhârî memasukkan riwayat Asîd ibn Zaid dalam kitab sahîh-nya, karena mempunyai beberapa riwayat pendukung yang kuat. Apabila hal tersebut yang menjadi alasan, mengapa imam al-Bukhârî memasukkan riwayat Asîd ibn Zaid bukan riwayat lain saja yang lebih kuat?.
Sedangkan seluruh jalur periwayatan hadis tersebut dalam sahih Al-Bukhârî adalah:




















2. Matan yang Bagus, tapi sanad tidak bagus terkalahkan dengan Sanad yang Bagus tapi matan tidak bagus.

Ada hadis yang mempunyai matan yang “bagus” tapi ada cacat pada sanadnya, terkalahkan dengan hadis yang mempunyai matan yang “kurang bagus” tetapi mempunyai rangkaian sanad yang yang tidak ada cacatnya. Seperti matan hadis:
إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ
“Sesungguhnya ada tiga hal yang membawa sial: kuda, perempuan dan rumah”.

Sanad hadis ini tidak diragukan ke- sahîh -annya, karena diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dan imam Muslim dengan beragam jalur periwayatan. Bahkan ulama-ulama hadis yang lain-pun, seperti imam al-Nasâ’i, amam al-Tirmidzî, imam Abû Dâwûd dan imam Ahmad ibn Hanbal mencantumkan tema hadis seperti di atas dalam karya-karya mereka. Tetapi materi hadis ini menjadi diperbincangkan karena bertentangan dengan teks al-Qur’an surat al-Hadîd/57:22;
                 •     
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Yang menyatakan hadis di atas bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Hadîd /57: 22 adalah ‘Âisyah RA:
حدثناروح ثناسعيدعن قتادة عن ابي حسان: أنّ رجلين دخلا على عائشة فقالا: إنَّ اباهريرة يحدّث انّ نبي الّله صلّى الّله عليه وسلّم كَانَ يَقُوْلُ: (إِنَّمَاالطِّيَرَةَفِيْ الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارٍ) فَالَ: فَطَارَتْ شِقَّةُ مِنْهَا فِيْ السَّمَاءِ وَشِقَّةُ مِنْهَافِيْ اْلاَرْضِ وَقَالَتْ: وَالَّذِيْ أَنْزَلَ الْقُرْآَنَ عَلَى اَبِي الْقَاسِمِ مَاهكَذَاكَانَ يَقُوْلُ وَلَكِنْ كَانَ نبي الّله صلّى الّله عليه وسلّم يَقُوْلُ : كَانَ اَهْلُ الجَاهِلِيَّةِيَقُوْلُوْنَ:)اَلطِّيَرَةَ فِيْ الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارٍ(ثُمَّ ٌقَرَأَتْ عَائِسَةُ: مَااَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةِِ فِي اْلاَرْضِ وَلاَفِيْ اَنْفُسِكُمْ إِلاَّفِيْ كِتب مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلَى الّلهِ يَسِيْرُُ. (الحديد/22:57)
Rauh menceritakan kepada kami ia berkata: Sa’îd menceritakan kepada kami dari Qatâdah dari Abî Hassân, bahwa dua orang lai-laki datang kepada ‘Âisyah, keduanya berkata: “Sesungguhnya Abû Hurairah bercerita bahwa Nabi saw. pernah bersabda: ‘Kesialan itu terdapat pada perempuan, binatang dan rumah’. Maka terbanglah sebagian lambung ‘Âisyah ke langit dan sebagian lagi di bumi (gambaran kemarahan yang memuncak dari ‘Âisyah setelah mendengar cerita tersebut). ‘ Demi Yang telah menurunkan al-Qur’an kepada Abi al-Qâsim (Nabi Muhammad saw.), bukan seperti itu yang beliau sabdakan, akan tetapi Nabi pernah bersabda: ‘Orang-orang Jahiliyah mengatakan bahwa kesialan terdapat pada perempuan, binatang dan rumah’. Kemudian ‘Âisyah membaca ayat: ‘Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhulmahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (al-Hadîd /57: 22).”

Redaksi lain yang menunjukkan kritikan ‘Âisyah kepada Abû Hurairah adalah:
حدّثنامحمد بن راشد عن مكحول قال ,قيل لعائشة: إنَّ اباهريرة يقول:قال رسول الّله صلّى الّله عليه وسلّم (الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثَةِِ فِيْ الدَّارٍ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ).فقالت عائشة: لَمْ يَحْفَظْ ابوهريرة إِنَّهُ دَخَلَ ورسول الّله صلّى الّله عليه وسلّم يقول:قَاتَلَ الَّلهُ اْليَهُوْدَ يَقُوْلُوْنَ (الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثَةِِ فِيْ الدَّارٍ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ) فَسَمِعَ آَخِرَالْحَدِيْثِ وَلَمْ يَسْمَعْ اَوَّلَه.ُ

Muhammad ibn Râsyid menceritakan kepada kami dari Makhûl, ia berkata: ‘Âisyah diberi tahu bahwa Abû Hurairah pernah berkata: Rasulallah saw. bersabda: “Kesialan ada pada tiga tempat ; rumah, perempuan dan kuda”. ‘Âisyah menjawab: Abû Hurairah tidak sempurna meriwayatkan hadis itu. Abû Haurairah masuk ketika Rasulallah saw. sedang bersabda: “Mudah-mudahan Allah membinasakan orang-orang Yahudi yang mengatakan kesialan terdapat pada tiga hal: rumah, perempuan dan kuda. Abû Hurairah mendengar akhir hadis tersebut, tapi tidak mendengan awalnya (Mudah-mudahan Allah membinasakan orang-orang Yahudi).

Hadis ini dinilai da’îf/lemah dalam status munqati’ karena salah seorang perawinya, Makhûl (113 H.), diragukan pernah bertemu ‘Âisyah, maka ada pelantara antata Makhûl dengan ‘Âisyah yang tidak dicantumkan dalam riwayat tersebut . Sedangkan dari sisi ilmu jarh wa ta’dîl tidak seorangpun yang menilai negatif Makhûl. Beberapa penilaian ulama terhadap Makhûl (112 H.):
Sa’îd ibn ‘Abd al-‘Azîz  Orang yang Syam yang paling faqîh
Al-‘Ijlî  Tsiqah
Ibn Khurrâsy  Sadûq
Abû Hâtim al-Râzî  Tidak ada seorangpun di Syam yang lebih
faqîh dari Makhûl
Ibn Hibbân  memasukkan dalam kategari orang yang
tsiqah, tetapi terkadang dia mudallis.
Abû Yûnus  Faqîh, ‘Âlim
Ada riwayat lain pada tema yang lain yang menunjukkan periwayatan Makhûl langsung bersumber dari ‘Âisyan yang diriwayatkan oleh imam Ibn Mâjah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُنِيرِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُقَامَ عَنْ الطَّعَامِ حَتَّى يُرْفَعَ
Tetapi riwayat ini dikomentari Ibn Hibbân bahwa dalam hadis ini ada periwayat yang dianggap mudallis. Redaksi komentarnya dalah:
وَفِي الزَّوَائِد فِي إِسْنَاده الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ مُدَلِّس وَكَذَلِكَ مَكْحُولٌ الدِّمَشْقِيُّ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ فِيهِ دُحَيْمٌ ضَعِيف وَبِهِ قَالَ اِبْنُ حِبَّانَ يَأْتِي عَنْ الثِّقَات بِالْمُعْضِلَاتِ لَا تَحِلّ الرِّوَايَة عَنْهُ إِلَّا عَلَى سَبِيل الِاعْتِبَار
.
Riwayat Abû Dâwûd al-Tayâlisî dan riwayat imam Ahmad merupakan kritikan ‘Âisyah terhadap periwayatan Abû Hurairah tentang hal- hal yang membawa sial. Pada riwayat Abû Dâwûd al-Tayâlisî, ‘Âisyah langsung mengkritik periwayatan Abû Hurairah bahwa Abû Hurairah tidak mendengar hadis secara lengkap, sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad, ‘Âisyah mengkritik riwayat Abû Hurairah dengan perbandigan ayat al-Qur’an (al-Hadîd/ 57: 22) dan juga riwayat lain yang ia dengar dari Rasulullah saw.
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dan imam Muslim adalah melalui jalur ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H.) dan Sahl ibn Sa’ad al-Sâ’idî (w. 88 H.), sedangkang hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwûd al-Tayâlisî dan Imam Ahmad adalah melalui jalur Abû Hurairah yang berisi kritikan ‘Âisyah terhadapnya. Berarti hadis seperti ini tidak hanya didengar oleh Abû Hurairah, tetapi didengar pula oleh ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H.) dan Sahl ibn Sa’ad al-Sâ’idî (w. 88 H.). Mengkonfrontasikan antara hadis shaheh dengan hadis dha’if atau antara al-Qur’an dengan hadis shaheh adalah tidak mungkin, karena tida seimbang dan salah satunya akan ada yang digugurkan. Hadis shaheh dengan hadis dha’if akan “ dimenangkan” oleh hadis shaheh. Hadis shaheh dengan al-Qur’an akan “dimenangkan” oleh al-Qur’an. Apabila teks al-Qur’an yang diajukan maka hadis shaheh sekalipun akan dikalahkan.
Hadis riwayat Abû Dâwûd al-Tayâlisî dan imam Ahmad kedudukannya lebih rendah dibandingkan hadis riwayat imam al-Bukhârî dan imam Muslim (Muttafaq ‘alaih) , akan tetapi matan hadis riwayat ‘Âisyah yang dikutip oleh Imam Ahmad sangat relevan dengan hadis riwayat imam al-Bukhârî dan imam Muslim. Hadis riwayat ‘Âisyah tidak dapat dikonfrontasikan dengan hadis riwayat ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H.) yang dikutip oleh imam al-Bukhârî dan imam Muslim karena tidak mempunyai kesamaan kualitas antara keduanya (antara shaheh dengan dha’if). Tanpa menggunakan hadis riwayat ‘Âisyah , riwayat imam al-Bukhârî dan imam Muslim melalui jalur ‘Abdullâh ibn ‘Umar masih dapat dipertanyakan dengan menggunakan ayat al-Qur’an, surat al-Hadîd/57: 22, yang terdapat dalam matan hadis riwayat ‘Âisyah dan merupakan argumentasi ‘Âisyah dalam mengkritik hadis riwayat Abu Hurairah.
Kesan pertentangan antara teks (matan hadis) yang sanadnya shaheh dengan al-Qur’an yang disikapi oleh ‘Âsiyah tidak menjadikan riwayat ‘Âisyah menjadi unggul atau seimbang dengan periwayatan hadis Al-Bukhârî dan Muslim, karena riwayat ‘Âisyah tetap dianggap lebih rendah statusnya dibandingkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim. Kenyataan ini menggambarkan bagaimana seorang perawi sangat menentukan nasib sebuah hadis. Sekalipun kritikan ‘Âisyah menggunakan ayat al-Qur’an terhadap periwayatan Abû Hurairah menjadikan hadis tersebut “tandingan yang seimbang” terhadap riwayat Al-Bukhârî dan Muslim melalui jalur ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H.), dengan melihat meteri kritikan (matan hadis), yaitu surat al-Hadîd /57:22. Perbandingan ini menjadikan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa riwayat ‘Âisyah lebih mendekati kebenaran, Insyâ Allah, karena lebih sesuai dengan larangan Nabi saw. secara umum tentang tatayyur, dan sesuai dengan ayat al-Qur’an al-Hadîd / 57 : 22.
Matan hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dan Muslim melalui sahabat ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H.) dan Sahl ibn Sa’ad al-Sâ’idî (w. 88 H.) tidak menjadi tetap kuat karena diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai ‘adl oleh ulama hadis, sedang hadis riwayat Abû Dâwûd al-Tayâlisî tetap dianggap lemah karena ada cacat, sekalipun hal itu dapat menjelaskan kesan kontradiksi yang terjadi antara hadis dengan al-Qura’an. Para ulama hadis-pun akhirnya mengabaikan periwayatan Abu Abû Dâwûd al-Tayâlisî dari jalur ‘Âisyah , tapi mereka mengalami dilematis untuk membiarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dan Muslim dari Jalur ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H.) dan Sahl ibn Sa’ad al-Sâ’idî (w. 88 H.) yang terkesan bertentangan dengan al-Qur’an, tapi juga tidak mungkin membantah hadis tersebut dengan periwayatan ‘Aiysah yang dikutip oleh Abû Dâwûd al-Tayâlisî, karena mempunyai nasib “kurang beruntung” karena ada periwayat yang di-jarh, yaitu Makhûl. Akan tetapi pertentangan ini harus diselesaikan. Akhirnya para ulama menggunakan beberapa metode untuk mengatasi pertentangan ini:
1. Metode Naskh.
Hadis riwayat al-Bukhârî dan Muslim (kuda,perempuan dan rumah adalah pembawa sial) dinaskh (dibatalkan) dengan ayat al-Qur’an surat al-Hadîd /57:22. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn al-Barr. Metode ini mempunyai kelemahan:
a. Tidak ada penjelasan secara historis antara dua dalil tersebut yang terlebih dahulu dikemukan, hadis Nabi atau ayat al-Qur’an.
b. Terdapat metode lain yang lebih tepat untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu metode kompromi (jama’) semua riwayat-riwayat tersebut, metode naskh adalah alternatif terakhir untuk memecahkan masalah.
2. Metode Kompromi (Jama’ )
Imam al-Tirmidzî berpendapat bahwa seluruh riwayat-riwayat di atas bukanlah termasuk kategori periwayatan yang saling bertentangan (ta’arrud), akan tetapi riwayat-riwayat ini termasuk dalam kategari saling melengkapi (Al-Ziâdah al-Mufîdah). Metode ini (jama’) akan memunculkan beberapa pemahaman terhadap riwayat-riwayat tersebut:
a. Riwayat-riwayat diatas bersifat deskrifsi terhadap sebagian kebudayaan jahiliyah yang berkembang sebelum Islam datang dan masih terjadi setelah Islam datang, kemudian Islam melarang kebudayaan tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Ibn al-‘Arabî, karena Nabi saw. diutus bukan untuk menceritakan kepercayaan-kepercayaan masa lalu, tapi untuk mengajarkan apa yang seharusnya diyakini oleh manusia. Alasan Ibn al-‘Arabî kurang tepat, karena banyak hadis-hadis Nabi dan ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan kepercayaan-kepercayaan masa lalu sebagai peringatan agar umat islam jsngsn terjerunus ke dalam kepercayaan yang salah seperti kepercayaan-kepercayaan masa lalu yang telah dilarang oleh Islam.
b. Tiga hal yang dianggap membawa sial (kuda, perempuan, rumah), bukanlah dalam pengertian yang sebenarnya ketiga hal itu penyebabnya, akan tetapi ada beberapa faktor yang melekat pada tiga hal tersebut sehingga dia dianggap membawa sial. Seperti perempuan dianggap membawa sial karena tidak dapat memberikan keturunan (mandul), bicaranya menyakitkan, mahar (mas kawin) yang mahal. Perempuan yang tidak dapat memberikan keturunan dianggap membawa sial, maka laki-laki juga dapat membawa sial. Keturunan (anak) adalah hasil pembuahan antara sel telur yang dimiliki istri dan sel sperma yang dimiliki suami yang terjadi di dalam rahim. Maka keduanya mempunyai potensi yang sama dalam pembuahan dan mempunyai potensi kegagalan yang sama atau salah satu alat reproduksi suami istri tidak berpungsi. Alasan mandul pada istri adalah alasan yang sangat merendahkan perempuan. Seorang suami dapat menikahi perempuan lain (poligami) ketika istrinya tidak dapat memberikan keturunan dan alasan ini dibenarkan, akan tetapi apabila seorang suami yang mengalami mandul (potensi tidak dapat memberikan keturunan) maka istri tidak dapat melakukan poliandri, yang dapat dilakukan adalah khuluk (gugatan cerai). Pengajuan gugatan cerai dapat diterima Pengadilan Agama dengan alasan suami tidak dapat memberikan keturunan tidak tercantum secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, sekalipun secara inplisit alasan itu tidak terdapat di dalamnya. Potensi mengalami kemandulan dapat dialami oleh suami dan istri, maka keduanya, laki-laki dan perempuan, mempunyai potensi pula untuk mendatangkan kesialan bagi orang lain, bukan hanya perempuan, seandainya kesialan (syu’um) kesialan itu ada dalam Islam. Penjelasan mahalnya mas kawin (mahar) tidak relevan dengan penjelasan sebelumya, karena yang dimaksud al-mar’ah dalam penjelasan hadis adalah seorang istri dan orang yang belum memperoleh mas kawin berarti belum berstatus istri, seandainya hal itu dianggap syu’um akan terjadi pada diri mereka sendiri tidak pada orang lain. Penjelasan “bicaranya menyakitkan orang lain” akan terjadi pada siapapun baik laki-laki atau perempuan. Tiga penjelasan di atas dapat terjadi pada siapapun , karena siapapun yang pada dirinya terdapt faktor-faktor yang telah disebutkan, maka mereka dianggap membawa sial (syu’um) baik laki-laki maupun perempuan.
c. Tiga hal yang disebutkan Nabi (perempuan, rumah, kuda) adalah sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan manusia, apabila ketiga hal ini tidak ada, maka akan terasa kurang dan mencari untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perkembangan jaman mempengaruhi pemahaman kepada tiga hal tersebut, materinya dapat berubah tapi esensinya tetap sama. Kebutuhan pada tiga hal tersebut sanagt mempengaruhi prilaku manusia, maka tidak boleh ada kesalahan pada tiga hal tersebut. Perubahan struktur sosial yang ada akan ditimpakan kepada tiga hal tersebut, sebagai pelarian, karena itulah yang terdekat dengat kehidupan manusia. Nabi melarang seluruh keyakinan tentang syu’um atau tatayyur, tiga hal inilah yang tersisa dari tradisi-tradisi jahiliyah karena sudah mendarah daging, maka tiga hal ini diberikan penekanan yang lebih untuk dihilangkan dalam kehidupan karena sudah melekat dalam kehidupan. Apabila kepercayaan syu’um pada tiga hal ini dapat dihilangkan, maka akan hilang kepercayaan syu’um pada seluruh asfek kehidupan.
d. Kebiasaan syu’um dan tatayyur sangat melekat pada kebudayaan jahiliyah setelah islam datang Nabi melarang kebudayaan tersebut. Pada tiga hal ini sangat sulit untuk dihilangkan, maka pada tiga hal ini digunakan sebagai penekanan. Apabila rumah sudah tidak membawa ketentraman, maka boleh diganti. Apabila istri sudah tidak harmonis lagi maka boleh diceraikan. Apabila kuda sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, maka boleh dijual, karena apabila dibiarkan dalam kondisi seperti itu (tidak harmonis, tidak nyaman dan tidak bermanfaat) secara berlarut-larut dan menimbulkan kegelisahan yang memuncak, maka akan memunculkan kembali kebiasaan dan kepercayaan pada jaman jahiliyah terhadap tatayyur dan syu’um yang telah dilarang oleh Nabi. Tindakan tersebut adalah sebagai tindakan prefentif terhadap bahaya lebih besar yang mungkin muncul, yaitu musyrik.
e. Tatayyur dan syu’um adalah tradisi jahiliyah yang telah melekat dan sulit untuk dihilangkan. Menghilangkan tradisi yang sudah berakar tidak dapat dilakukan secara radikal. Nabi menggunakan pendekatan tadarruj (bertahap). Nabi melarang syu’um dan tathayyur kemudian memberikan alternatif terbaik dan dibenarkan dalam Islam sebagai solusinya yang memberikan pengaruh yang baik bagi pelakunya. Nabi melarang tathayyur, tapi membolehkan tafa’ul ( تفائل ) .
حدّثناعبدالّله بن محمد اخبرناهشام اخبرنامعمرعن الزهري عن عبدالّله بن عبدالّله عن ابي هريرةرضي الّله عنه قال: قال رسول الّله صلّى الّله عليه وسلّم: لآَطِيَرَةَ وَخَيْرُهَاالْفَأْلُ قَالَ مَالْفَأْلُ يَا رَسُوْلُ الّله؟. قَالَ: اَلْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَااَحَدُكُم.ْ

‘Abdullâh ibn Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: Hisâm menceritakan kepada kami, ia berkata: Ma’mar menceritakan kepada kami dari Zuhrî dari ‘Abdullâh ibn ‘Abdullâh dari Abû Hurairah berkata: Rasulallah SAW. bersabda: “Tidak ada kesialan (tiarah) yang baik adalah fa’al.” Abû Hurairah bertanya :”Apa yang dimaksud dengan fa’al ya Rasulallah”. Rasulallah menjawab: “Perkataan baik yang didengar seseorang”

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan ummatnya untuk bersikap oftimis terhadap segala sesuatu yang sedang dihadapi dan melarang sikap pesimis.
f. Peristiwa apapun yang terjadi pada manusia, Allah memerintahkan untuk bersikap tawakkal. Tiga hal yang disebutkan oleh Nabi, seandainya benar adanya, harus tetap dikembalikan kepada takdir Allah.
Metode ini dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan antara hadis dengan al-Qur’an dengan mengabaikan materi hadis yang diriwayatkan oleh ‘Âisyah .

PENUTUP

Kenyataan di atas menggambarkan kegigihan usaha ulama hadis utuk menyelamatkan hadis yang shaheh sanadnya, tapi yang terkesan betentangan dengan al-Qur’an. Pertanyaan yang muncul kemudian mengapa mereka tidak mempertimbangkan matan hadis riwayat ‘Âisyah , jawabannya adalah karena nasib hadis ditentukan oleh periwayat hadis. Apabila kontradiksi yang terjadi pada hadis di atas diselesaikan dengan menggunakan jalur kritik matan mungkin mempunyai kesimpulan yang berbeda. Akan tetpi kritik matan tidak dapat dilakukan, apabila hadis tersebut tidak lulus dalam kritik sanad.
Kenyataan ini juga membuktikan bahwa para kolektor hadis yang terpercaya juga mempunyai peranan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hadis di kalangan masyarakat Islam, karena Asîd ibn Zaid yang dinilai negatif oleh ulama-ulama hadis dapat menempati posisi terhormat dan beruntung dapat masuk dalam koleksi hadis-hadis Imam Al-Bukhârî yang dinilai mempunyai persyaratan yang sangat ketat.


DAFTAR PUSTAKA

al-Naisâbûrî, Muslim Ibn Hajjâj, Sahîh Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993
al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjâj, Usûl al-Hadîts, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Al-Tahhan, Mahmûd, Taisîr Mustalah al-Hadîts, Beirût: Dâr al-Tsaqafah al-Islâmiyah, 1985, Cet. Ke-VII.
Al-Syaukanî, Muhammad ibn Abd al-Rahmân, Irsyâd al-Fukhûl, Beirût: Dâr al-Fikr, tth.
Hasyîm, Ahmad ‘Umar, Qawâ’id al-Hadîts, Cairo: Dâr al-Syabab li al-Taba’ah, 1995
al-Qâsimî, Muhammad Jamâluddîn, Qawâ’id Tahdîts min Funûn Mustalah al-Hadits, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1979
Al-Syaukanî, Muhammad ibn Abd al-Rahmân, Fath al-Mugîts, Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1995
Syâkir, Ahmad Muhammad , Al-Ba’îts al-Hatsîts, Beirût: Dâr al-Kutb al-Ilmîyah, 1994, h. 89
Al-Bagdâdî, Khâtib, Kitâb al-Kifâyah fî Ilm al-Riwâyah, Beirût: Dâr al-Kutb al-Ilmiyah, 1988
Al-Zarkasyi, Badr al-dîn, Al-Ijâbah li Irâd mâ Istadrakathu ‘Âisyah ‘alâ Sahâbah, Beirût: al-Maktabah al-Islâmî, 1980
Al-Bukhârî, Muhammad ibn Ismâ’îîl, Matan al-Bukhârî Masykul bi Hasyiyah al-Sindî, Beirût : Dâr el-Fikr, tth.
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akapres, 1995), Cet. ke-II
As-Asqallânî, Ibn Hajr, Fath al-Bârî bi Syarh al-Bukhârî, Cairo; Maktabah al-Qâhirah, 1978.
Al-Kirmânî, Syarh al-Bukhârî li al-Kirmânî, Beirût: Dâr al-Ihyâ’ al-Turats al-‘Arabi, 1991, Cet. Ke-II
Al-Nawawî, Yahya ibn Syaraf, Syarh Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Cairo: Al-Maktabah al-Misriyah wa Maktabah, tth.
Al-Qâsimi, Muhammad Jamal al-dîn, Qawâ’id Tahdîts min Funûn Mustalah al-Hadîts, Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1979.

Hadits Viewer Software

Kalau sebelumnya perpustakaan online berbagi al-quran digital kepada pembaca semua, maka kali ini giliran Hadits Viewer yang meluncur di postingan terbaru kami.

Hadits viewer adalah sebuah software buatan Jamal Al-Nasir, seorang muslim dari London yang mengelola divineislam.com, berisi kumpulan hadits shahih multi bahasa dari beberapa perawi hadits sebagai berikut:

  • Bukhari dan Muslim berbahasa Arab, Perancis, Jerman, Inggris, Indonesia, dan Turki
  • Imam Nawawi berbahasa Inggris
  • Hadits Qudsi berbahasa Urdu

Bagi sahabat yang berada di luar negeri atau yang ingin mengetahui bunyi hadits dalam bahasa yang berbeda, software ini sangat cocok sekali untuk anda.

Download software hadits viewer di sini

Hadits-Hadits Arba’in Nawawiyah


Judul : Hadits-Hadits Arba’in Nawawiyah
Judul asli : Al-Arba’in An-Nawawi
Penyusun hadits : Syaikh Imam Nawawi
Buku ini menguraikan hadits-hadits himpunan Imam Nawawi yang dikenal di dunia Islam dengan nama Hadits-Hadits Arba’in Nawawiyah. Terdiri dari matan dalam bahasa arab dan artinya di dalam bahasa Indonesia. Hadits itu sendiri merupakan rangkuman pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad.

Link download e-book Hadits Arba’in Nawawiyah di sini

Mengkaji Ulang Hadis-hadis Misoginis "seminar dan bedah buku Perempuan di Lembaga Suci: Kritik atas Hadis-hadis Shahih"

Aula Madya, UIN Online – Keberadaan hadis-hadis Nabi Muhammad yang terkesan misoginis dan dipahami misoginis akan bertambah kuat kemisigonisannya, ketika hadis tersebut dikomentari dan diberi penjelasan misoginis.

Demikian dijelaskan Ahmad Fudhaili dalam seminar dan bedah buku Perempuan di Lembaga Suci: Kritik atas Hadis-hadis Shahih, dengan tema “Mengkaji Ulang Hadis-hadis Misoginis dalam Perspektif Kesetaraan Gender” di Aula Madya Lt 1, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (30/11).

Menurut penulisnya, Ahmad Fudhaili, kritik hadis bukan berarti menolak atau membatalkan hadis, tapi menempatkan hadis dengan cara memahaminya dengan sebaik-baiknya.

Lebih lanjut Ahmad Fudhaili dalam bukunya menjelaskan, permasalahan hadis shaih yang berkaitan dengan perempuan menjadi perhatian serius di kalangan intelektual Muslim kontemporer. Sebab, beberapa hadis dinilai “misoginis” dan mendiskreditkan kedudukan perempuan.

Selain Ahmad Fudhaili, pembicara lainnya adalah Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, dosen Universitas Islam Jakarta dan Noeryamin Aini, MA, Peneliti Research Asociation.

Ahmad Lutfi Fathullah menyatakan, kehadiran buku-buku yang mengkritisi hadis sudah sepatutnya disambut baik. Hanya saja, kritik itu harus dilakukan pada tahapan pemilihan dan penilaian. Bukan pada tahap pasca penilaian. “Apalagi jika kritik tersebut ditujukan kepada hadis-hadis yang sahih dan lebih-lebih dilakukan dengan cara yang vulgar,” katanya.

Sementara itu, Ketua Panitia Seminar dan Bedah Buku, Achmad Fadlus Sani, menjelaskan, seminar ini perlu diadakan, karena adanya keresahan dalam melihat kesimpangsiuran dalam memahami hadis hanya dari satu sisi. Untuk itu, tujuan seminar dan bedah buku di antaranya untuk meluruskan kesalahpamahan dalam memahami dan menginterpretasi suatu hadis.

Senin, 05 April 2010

Perempuan di Lembaran Suci, Kritik Atas Hadist-Hadist Shahih

Judul : Perempuan di Lembaran Suci, Kritik Atas Hadist-Hadist Shahih

Penulis : Ahmad Fudhaili

Penerbit : Nuansa Aksara

Cet : Pertama, Februari 2005

Tebal : xvi + 263 hlm.

Harga : Rp. .....,.....,00

Kritik matan digunakan untuk membuktikan keabsahan hadist, baik secara tekstual maupun kontekstual. Relevansi hadist dipertanyakan kembali, dengan berbagai sudut pandang; apakah suatu hadist masih dapat diamalkan pada masa kini atau sebagai romantika sejarah belaka. Studi kritik matan hadist ini berimplikasi pada keabsahan hadist-hadist yang telah dinyatakan shahih oleh imam Bukhari, Muslim, atau ulama-ulama hadist lainnya; apakah benar hadist-hadist tersebut shahih? Dan apakah hadist shahih tersbut dapat dijadikan pedoman dan diamalkan, jika ternyata bertentangan dengan pandangan kontemporer umat Islam? Sebagian ulama memahami hadist dengan cara ta’wil terhadap al-Quran dan sulit memahaminya secara tekstual. Akan tetapi, ulama lain memhaminya secara tekstual terhadap matan hadist.

Permasalahan hadist shahih yang berkaitan dengan perempuan menjadi perhatian serius di kalangan intlektual muslim kontemporer, karena beberapa hadist dinilai “misigonis” dan mendiskriditkan kaum perempuan, sehingga dianggap bertentangan dengan al-Qur’an. Terlebih lagi, hadist-hadist yang mempuanyai kualitas terbaik dan paling absah, yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih karta Imam Bukhari. Kitab yang disusun berdasarkan seleksi yang demikian ketat, sehingga hadist yang termuat di dalam kitab tersebut akurasi keabsahannya sangat dipercaya.

Meskipun demikian, keabsahan hadist dalam kitab Bukhari dipertanyakan kembali jika ditinjau dari aspek matan. Benarkah Imam Bukhari tidak memperhatikan kontekstual hadist dalam menyeleksi hadist? Hadist-hadist shahih yang terkesan menyudutkan memungkinkan untuk dikaji ulang dengan menggunakan kritik matan dengan metode yang sudah disitematisir oleh para ulama hadist. Hadist tersebut harus dilihat dari konteks kesejarahan kultur yang berkembang saat itu. Ada beberapa sistem pendekatan dalam mengkaji hadist, di antaranya; hadist yang terkesan kontradiktif dengan teks atau pemahaman al-Quran itu harus ditolak atau dianggap dha’if. Atau dikaji dengan mendahulukan cara ta’wil untuk memahami hadist yang terkesan kontradiktif daripada harus menolaknya hadist shahih.