Ingin Tauuu...?

Kamis, 25 November 2010

'AISYAH:

KRITIKUS HADIS PERTAMA DALAM ISLAM

Oleh: Ahmad Fudhaili

 

A. PENDAHULUAN.

'Aisyah bint Abu Bakr al-Siddiq , salah satu istri Nabi SAW. yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan isrti-istri Nabi SAW. lainnya bahkan kaum perempuan Arab pada umumnya. Nabi SAW. menyatakan bahwa 'Aisyah-lah orang  yang paling beliau cintai[1], bahkan Nabi SAW. juga mengakui keunggulan[2] 'Aisyah dibandingkan dengan kaum perempuan lain. Hadis yang diriwayatkan oleh 'Aisyah dari Nabi SAW., terbanyak kedua setelah Abu Hurairah RA[3]., sekitar 2210 hadis, dengan standar keshahehah hadis yang sampai kepada kita: 174 hadis memenuhi standar keshahehan yang ditetapkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim, 54 hadis memenuhi standar keshahehan yang ditetapkan  oleh imam Bukhari saja dan 68 hadis  memenuhi standar keshahehan yang ditetapkan oleh imam Muslim saja.[4] Sedangkan dalam kutub tis'ah (sembilan kitab-kitab hadis) terdapat 5965 hadis riwayat  'Aisyah. 849 hadis dalam shaheh bukhari, 630 hadis dalam shaheh Muslim, 288 hadis dalam Sunan at-Tirmizi, 664 hadis dalam sunan an-Nasa'i,  429 hadis dalam sunan Abi Daud, 386 hadis dalam Ibn Majah, 2396 hadis dalam musnad Ahmad ibn Hanbal dan 323 hadis dalam sunan al-Darimy.

Kedekatan 'Aisyah dengan Nabi SAW., karena sebagai istri beliau, dan  banyaknya hadis yang beliau riwayatkan langsung dari Nabi SAW. bukanlah yang menjadikan faktor utama beliau mempunyai sikap kritis terhadap suatu peristiwa yang menurutnya tidak sesuai dengan dasar-dasar ajaran agama Islam yang dia ketahui. Kecerdasan dan keberanianlah yang menjadi faktor utama 'Aisyah bersikap kritis terhadap. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana sikap itu dapat muncul pada diri 'Aisyah?, karena tidak setiap orang memiliki sikap seperti ini.

 

B. LATAR BELAKANG SOSIAL KULTUR.

'Aisyah dilahirkan di Mekkah pada tahun ke-enam kenabian, tahun ini dapat dipastikan karena Rasulullah SAW. melamarnya pada saat 'Aisyah berusia enam tahun, kurang lebih dua tahun setelah Khadijah wafat, yaitu tiga tahun sebelum hijrah.[5] Kemudian Nabi SAW. membina rumah tangga bersama 'Aisyah  pada bulan Syawwal, awal bulan ke-18 dari hijrahnya Nabi SAW. ke Madinah, pada saat itu 'Aisyah berusia sembilan tahun.[6]              

            'Aisyah dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan bangsa Arab yang masih murni, karena tradisi Arab saat itu, sebagaimana yang dilakukan terhadap Nabi SAW. diwaktu kecil, yaitu menyerahkan 'Aisyah kepada Arab Badui untuk diasuh. 'Aisyah diasuh oleh sekelompok Bani Makzum. Kehidupan suku badui yang masih murni menjadikan 'Aisyah mempunyai kefasihan, keelokan serta karakter Arab yang masih murni. Setelah beranjak dewasa 'Aisyah tinggal dilingkungan keluarga yang agamis karena beliau dilahirkan setelah Islam datang. Ayahnya, Abu Bakr al-Shiddiq, adalah salah seorang yang pertama kali masuk Islam begitu pula ibunya. Sedangkan 'Aisyah masuk Islam bersama kakaknya, Asma',  pada saat umat Islam baru berjumlah sepuluh orang. Oleh karena itu 'Aisyah juga dianggap kelompok pertama yang masuk Islam.[7]     

Kehidupan kota Mekkah dan hasil asuhan suku Badui serta lingkungan keluarga yang religius, memungkinkan  untuk dapat menjadikan 'Aisyah mempunyai kefasihan dalam berbicara bahasa Arab atau dalam menjaga tradisi-tradisi Arab dan mempunyai karakter yang baik dalam bergaul. Akan tetapi  apakah lingkungan seperti ini juga yang menjadikan 'Aisyah mempunyai kecerdasan dan sikap kritis terhadap peristiwa yang dialaminya. Lingkungan keluarga yang agamis dan lingkungan suku Badui tempatnya diasuh tidak menjadikan 'Aisyah mempunyai kecerdasan dan keberanian untuk melakukan kritikan terhadap lingkungan, apalagi terhadap orang-orang tertentu yang dihormati dan dikagumi, terutama Nabi SAW. sebagai suami dan sekaligus sebagai seorang utusan Allah yang yang membawah risalah  agama Islam untuk umat manusia.     

Ada dua faktor yang membentuk 'Aisyah mempunyai sikap kritis dan berani untuk mengajukan protes tarhadap sesuatu yang dipandangnya tidak sesuai dengan standar-standar tertentu:

  1. Hasil didikan langsung dari Nabi SAW.
  2. Hasil didikan lingkungan kota Madinah.

Hal ini dapat dilihat dari pernyatan 'Umar bin Khattab :

Kami adalah bangsa Quraisy yang mendominasi (menguasai) kaum perempuan, sedangkan  kaum perempuan Anshar, merekalah yang mendominasi (menguasai) kaum laki-laki. Ketika kami bergaul dengan kaum Anshar, kaum perempuan bangsa kami terpengaruh dengan budaya atau adab kaum perempuan Anshar. Aku ('Umar) pernah membentak istriku, kemudian dia membantah (menentang) aku, dan aku tidak suka dibantah. Istriku berkata: 'Mengapa engkau tidak suka aku bantah?, sedangkan  istri-istri Nabi SAW. saja  pernah membantah Nabi SAW., bahkan diantara mereka ada yang menghindari Nabi SAW. sampai malam hari'. Pernyataan tersebut amat mengagetkan aku, alangkah buruknya apa yang telah mereka lakukan terhadap Nabi SAW. Kemudian aku mengenakan pakaian dan menuju rumah Hafshah. Aku bertanya kepadanya; 'Apakah benar diantara kalian ada yang membuat Nabi SAW. marah hingga malam hari?' .Hafshah menjawab: 'Benar'. Celakalah engkau!, apakah engkau meresa aman dari murka Allah disebabkan murka Rasul-Nya?. Engkau akan celaka, engkau jangan menuntut terlalu banyak, jangan pernah membantah Nabi SAW. sedikitpun dan jangan menjauhi beliau. Mintalah yang wajar dan pantas. Engkau jangan cemburu kepada tetangga engkau (yang dimaksud adalah 'Aisyah), dia lebih cantik dan lebih dicintai oleh Nabi SAW...  [8]

 

Kondisi dan sikap kaum perempuan pada saat itu diceritakan kepada Nabi SAW.:

"Wahai Rasulullah SAW. Engkau tahu bahwa kami adalah bangsa Quraisy yang mendominasi kaum perempuan, ketika kami tiba dikota Madinah mereka adalah bangsa yang didominasi kaum perempuan" , Nabi SAW. hanya tersenyum beberapa kali.[9]

 

Tersenyumnya Rasulullah SAW. terhadap informasi yang disampaikan 'Umar bin Khaththab menunjukkan bahwa Nabi SAW. mentolerir terhadap sikap istri-istri beliau yang menurut 'Umar adalah terpengaruh oleh budaya kaum Anshar, dan Nabi SAW. tidak melarang terhadap sikap istri-istri beliau, yang menunjukan bahwa sikap seperti itu dibolehkan dalam Islam dan Nabi SAW. membiarkanya (sunnah taqririyah).

Ada kemungkinan senyuman Nabi SAW. ditujukan kepada sikap 'Umar bin Khaththab yang  terkesan tidak menerima perubahan sikap kaum perempuan Muhajirin setelah begaul dengan kaum perempuan Anshar, atau 'Umar belum tahu sikap istri-istri Nabi SAW. terhadap Nabi SAW. dalam kehidupan sehari-hari, padahal sikap seperti itu adalah ajaran Nabi SAW. sendiri.

 

C. KRITIKUS SANAD HADIS.

            Menurut Ibn Sirin (33-110 H.) kritik sanad, dalam pengertian jarh (penilaian sisi negatif seorang periwayat hadis) dan ta'dil (penilaian sisi positif seorang periwayat hadis),  telah terjadi setelah masa sahabat sekitar akhir abad I Hijriyah, yaitu semenjak terjadinya fitnah. Ibn Sirin menuturkan:

Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad (transmisi hadis), namun setelah terjadi fitnah[10], apabila mereka mendengar  sebuah hadis, mereka selalu menanyakan sumber hadis. Apabila bersumber dari dari ahl al-sunnah mereka menerima hadis tersebut sebagai hujjah (dalil agama), akan tetapi apabila bersumber dari orang yang suka menyebarkan bid'ah, maka hadis tersebut ditolak[11].  

 

Cikal bakal kritik sanad hadis telah terjadi sejak jaman sahabat walaupun masih dalam kapasitas mencari dukungan riwayat dari sahabat lain. Hal ini pernah dilakukan oleh Abu  Bakr al-Siddiq dalam kasus pembagian warisan untuk seorang nenek  seperti yang diriwayatkan oleh Mughirah ibn Syu'bah. Abu Bakar meminta dukungan dari sahabat lain yang mengetahui riwayat tersebut dari Nabi SAW. kemudian Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian atas riwayat Mughirah ibn Syu'bah.[12]. Abu Bakar meminta kesaksian dari sahabat lain yang mengetahui riwayat tersebut adalah salah satu metode yang dilakukan beliau. Metode ini tidak baku, 'Umar ibn Khaththab juga pernah melakukan hal sama terhadap Abi Sa'id al-Khudri yang mendapat dukungan dari Ubay ibn Ka'ab[13]. 'Utman ibn 'Affan[14] dan 'Ali ibn Abi Thalib[15] juga melakan hal yang sama untuk memastikan kebenaran informasi yang sampai kepada mereka yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Beberapa sahabat yang dicontohkan diatas mempunyai metode tersendiri dalam memastikan ke-otentik-an sebuah hadis. Abu Bakar al-Siddiq meminta syahadah (saksi), 'Umar ibn Khaththab meminta bayyinah (bukti/saksi), 'Utsman ibn 'Affan meminta Iqrar (pengakuan), sedangkan 'Ali bin Abi Thalib meminta halaf (sumpah).

Cara yang dilakukan oleh sahabat senior yang empat dan sekaligus sebagai Khalifah al-Rasyidin tidak menunjukan adanya indikasi kritik terhadap perawi hadis (orang yang menyampaikan berita), tetapi sekedar tasabbut (memastikan) dan ta'kid (menguatkan). Adanya orang lain (syahid) untuk menjadi saksi tidak menjadikan persyaratan mutlak, karena banyak hadis yang diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad) dapat diterima, yang mereka lakukan hanyalah merupakan tindakan hati-hati (ihtiyath). 'Umar mengungkapkan alasan yang beliau lakukan:

[16] فَقَالَ عُمَرُ لِأَبِي مُوسَى إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنَّ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدٌ

'Umar berata kepada Abi Musa al-'Asy'ary: "Aku tidak menuduh engkau berdusta, tetapi hadis dari Rasulullah SAW. hal yang berat."

 

Dalam redaksi lain 'Umar bin Khaththab mengungkapkan :

 

فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِأَبِي مُوسَى أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ [17]

'Umar berata kepada Abi Musa al-'Asy'ary: "Aku tidak menuduh engkau berdusta, tetapi aku khawatir orang akan mudah berkata dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW.

 

Kenyataan diaatas jelas menunjukkan bahwa para sahabat senior tidak "berani" melakukan kritik terhadap periwayat hadis (dalam pengertian jarh wa ta'dil). Lain hal yang dilakukan oleh 'Aisyah yang telah "berani" melakukan kritik terhadap perawi hadis yang beliau dengar. Seperti yang beliau lakukan terhadap 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khaththab:

 

وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ وَذُكِرَ لَهَا أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَغْفِرُ اللَّهُ لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ يُبْكَى عَلَيْهَا فَقَالَ إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا[18]

Qutaibah bin Sa'ad menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas yang dibacakan kepadanya dari Abd Allah bin Abi Bakr dari ayahnya dari 'Amrah binti Abd al-Rahman, bahwa ia mendengar  'Aisyah diceritakan tentang perkataan Abdullah bin 'Umar "Sesungguhnya mayyit disiksa dengan sebab tangisan orang yang hidup". 'Aisyah berkata: "Mudah-mudahan Allah mengampuni 'Abd al-Rahman ('Abdullah bin 'Umar), dia tidak berdusta, tetapi dia hanya lupa atau salah. Yang sebenarnya adalah Rasulullah SAW. melewati jenazah Yahudi perempuan yang sedang ditangisi, kemudian Rasulullah SAW. bersabda: 'Mereka menangisinya, padahal jenazah tersebut sedang disiksa di dalam kuburnya".         

 

وحَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ هِشَامٍ وَأَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ جَمِيعًا عَنْ حَمَّادٍ قَالَ خَلَفٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَحْفَظْهُ إِنَّمَا مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَازَةُ يَهُودِيٍّ وَهُمْ يَبْكُونَ عَلَيْهِ فَقَالَ أَنْتُمْ تَبْكُونَ وَإِنَّهُ لَيُعَذَّبُ     [19]

Khalf bin Hisam dan Abu al-Rabi' secara bersamaan menceritakan kepada kami dari Hammad. Khalf berkata: "Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya berkata: 'Aisyah diceritakan tentang perkataan ibn 'Umar: 'Mayyit disiksa dengan sebab tangisan keluarganya', 'Aisyah berkata: 'Mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada Aba 'Abd al-Rahman yang mendengar sesuatu dan ia tida menghafalnya. Yang sebenarnya Rasulullah SAW. melewati jenazah orang Yahudi yang sedang ditangisi, kemudian Rasulullah SAW. bersabda : Kalian menangisinya padahal dia sedang disiksa". 

   

Dua hadis diatas menunjukkan bahwa 'Aisyah telah melakukan kritik sanad terhadap periwayatan yang ia dengar. Pada dasarnya kritikan 'Aisyah adalah pada matn hadis, tetapi sebelum ia menjelaskan matn hadis yang sebenarnya, terlebih dahulu beliau memberikan penilaian kepada orang yang telah meriwayatkna hadis tersebut, hal ini dilakukan agar tidak timbul kesan bahwa orang yang meriwayatkan hadis tersebut secara sengaja telah berdusta atau membuat hadis yang tidak disabdakan oleh Rasulullah SAW.

Kata :       نَسِيَ (lupa),  أَخْطَأ   (salah ) َ,  َلَمْ يَحْفَظُْ  (tidak hafal)  adalah kata-kata yang dapat digunakan dalam ilmu kritik sanad (jarh wa ta'dil) untuk menilai sisi negatif seorang perawi hadis. Walaupun belum ada strata tertentu pada masa 'Aisyah (sahabat) untuk menentukan kualitas seorang perawi dalam sisi negatif ataupun positif, seperti yang ada pada ilmu jarh wa ta'dil yang sudah sistematis[20], paling tidak 'Aisyah telah menunjukkan "keberaniannya" dalam kritik sanad hadis, hal ini merupakan tindakan "refolusioner" yang dilakukan oleh 'Aisyah, karena hal ini dilakukan setelah wafatnya 'Umar ibn Khaththab (23 Hijriyah), berarti masih banyak sahabat-sahabat senior lainnya yang masih hidup dan usia 'Aisyah pada saat baru berumur sekitar 26 tahun. Kata yang diungkapkan oleh 'Umar ibn Khaththab ketika menilai Abu Musa al-'Asy'ary hanya dengan ungkapan   لَمْ أَتَّهِمْكَ (aku tidak menuduh kamu berdusta), tetapi 'Aisyah ketika memberikan penilaian kepada 'Abdullah ibn 'Umar dengan penilaian yang tegas   لَمْ يَكْذِبْ (dia tidak berdusta), walaupun selanjutnya beliau mengungkapkan penilaiannya dengan kata-kata:   وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ (dia lupa atau salah) atau فَلَمْ يَحْفَظْهُ (dia tidak hafal).

Salah satu persyaratan hadis shaheh yang harus dipenuhi oleh seorang reriwayat hadis adalah dhabit. Pengertian dhabit adalah seorang periwayat memahami apa yang didengar dan menghafalnya ketika dibacakan. Dia juga harus menjaga hafalannya semenjak dia mendengar hadis tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakan kembali pada orang lain (al-Ada'). Seorang periwayat hadis disebut hafiz dan 'alim, apabila dia meriwayatkan hadis dari hafalannya yang didengar. Seorang periwayat dikatakan fahim  apabila meriwayatkan hadis dari pengertian dan pemahannya (ma'nawi). Seorang periwayat juga harus dapat memelihara catatan hadisnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mengganti atau menukar dari aslinya.[21]

Oleh karena itu apabila penilaian 'Aisyah terhadap 'Abdullah ibn 'Umar diterapkan pada sistem penilaian keshahehan hadis yang telah dibakukan, maka hadis riwayat Ibn 'Umar tidak dapat memenuhi standar hadis shaheh, karena ada sifat lupa dan tidak hafal atau ada kesalahan penuturan, hal ini akan sangat fatal akibatnya bila dilakukan oleh seorang perawi hadis. Sedangkan penilaian 'Umar ibn Khaththab kepada Abu Musa al-'Asy'ary  لَمْ أَتَّهِمْكَ  (aku tidak menuduh kamu berdusta) tidak mempunyai konsekuensi logis terhadap status hadis. Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa 'Aisyah adalah seorang perempuan yang telah melaukan kritik sanad hadis pada masa sahabat, yang kemungkinan belum ada sahabat Nabi SAW. lainnya yang pernah melakukan hal sama sebelum itu. Jadi dapat dikatakan bahwa 'Aisyah adalah kritikus sanad hadis pertama.

 

D. KRITIKUS MATAN HADIS  

Matan dalam pengertian ilmu hadis adalah:

ألفاظ الحديث التي تتقوّم بها معانبه

Lafaz-lafaz yang menunjukkan pada arti/materi hadis

            Lain hal dengan kritik sanad yang terjadi setelah fitnah, menurut ibn Sirin (33-110 H.), atau minimal pada masa sahabat sebagaimana yang telah dilakukan oleh 'Aisyah, kritik matan terjadi lebih awal dari kritik sanad, yaitu pada saat Nabi SAW. masih hidup. Kritik matan yang dilakukan oleh para sahabat  pada masa Nabi SAW.  sudah membentuk pola tertentu yang menjadi metode kritik matan pada generasi selanjutnya[22]. Metode yang terpola secara sistematis adalah metode  perbandingan (comparrison) dan pertanyaan silang atau rujuk silang (cross question and cross referense)[23]. Yang dimaksud kritik matan  pada masa Nabi SAW. adalah sikap kritis para sahabat terhadap segala sesuatu yang dinilai janggal pada pemahaman mereka.[24]

Metode  perbandingan (comparrison) dan pertanyaan silang atau rujuk silang (cross question and cross referense)        dapat dilakukan dengan  cara:

1.      Perbandingan antara hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an

2.      Perbandingan antara beberapa riwayat (jalur sanad) yang mempunyai tema yang sama.

3.      Perbandingan antara satu hadis dengan hadis yang lain yang terkesan kontradiktif.[25]

Sedangkan menurut Muhammad Musthafa Azami metode ini diterapkan dengan empat cara:

1.      Perbandingan antara hadis-hadis dari berbagai murid seorang guru (syeikh)

2.      Perbandingan antara pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu yang berlainan.

3.      Perbandingan antara tradisi lisan dengan dokumen tertulis.

4.       Perbandingan antara hadis dengan ayat al-Qur'an yang berkaitan[26].

Metode  perbandingan (comparrison) dan pertanyaan silang atau rujuk silang (cross question and cross referense) adalah metode kritik matan hadis yang telah dibakukan oleh ulama-ulama ahli hadis. Ternyata metode ini telah dilakukan oleh para sahabat, terutama oleh 'Aisyah.

            'Aisyah adalah orang yang paling "berani" dalam melakukan kritik bukan hanya pada para sahabat Nabi SAW. setelah Nabi wafat, bahkan kepada Nabi SAW sekalipun beliau bersifat kritis, seperti yang digambarkan dalam riwayat 'Umar ibn Khaththab[27].

Ibn Abi Mulaikah[28] mengambarkan sifat 'Aisyah dalam hadis yang beliau terima langsung dari 'Aisyah: 

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ [29]

'Aisyah, isrti Nabi SAW., selalu menanyakan  kembali sesuatu yang belum dipahami sehingga beliau paham benar apa yang didengar

 

Sedangkang riwayat-riwayat 'Aisyah yang berisi sikap kritis 'Aisyah terhadap para sahabat telah dikumpulkan oleh Imam Badr al-Din al-Zarkasyi ( 745 H. – 793 H.)  dalam karya beliau yang berjudul Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah[30] yang berisi lebih dari 80 hadis kritikan 'Aisyah terhadap para sahabat yang meriwayatkan hadis yang dinilainya terdapat kesalahan dalam periwayatan ataupun kekeliruan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh sahabat beliau yang mendengar atau menyaksikan langsung. Diantara sahabat yang menjadi sasaran kritik 'Aisyah anatara lain Abu Bakr al-Shiddiq, 'Umar bin Khaththab, 'Ali bin Abi Thalib, 'Abdulah bin 'Abbas, 'Abdullah bin 'Umar,  Abu Hurairah, Marwan bin Al-Hakam, Abu Sa'id al-Khudri, Ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ary, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqom, Al-Barra' bin 'Azib, 'Abdullah bin  al- Zubair, 'Urwah bin al-Zubair, Jabir bin 'Abdullah, Abu Thalhah, Abu Darda', Syaibah bin 'Utsman, Abd al-Rahman bin 'Auf, Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Shiddiq, Fatimah binti Qoisy.

Hadis-hadis kritik 'Aisyah yang dikumpulkan oleh Imam al-Zarkasyi, sebanyak lebih kurang 80 hadis, terhadap 22 orang sahabat Nabi SAW. menunjukkan kredibilitas 'Aisyah dan kecerdasannya yang diakui oleh sahabat lainnya serta keberaniannya dalam menyikapi segala sesuatu yang dianggapnya janggal dari sudut pandang agama. Periwayatan sebanyak ini yang berisi tentang kritikan 'Aisyah menjadi sangat berharga ketika tidak ada sahabat lain yang melakukan hal yang sama. Ada beberapa sahabat yang melakukan kritik matan, seperti 'Umar ibn Khaththab dan 'Abd Allah bin 'Amr, tapi tidak sebanyak yang dlakukan oleh 'Aisyah sehingga tidak dapat ditentukan pola yang mereka lakukan. Seperti yang dilakukan oleh 'Umar bin Khaththab ketika menanyakan tentang perbuatan Nabi SAW. yang berbicara kepada jasad-jasad orang kafir yang terbunuh pada parang badar, dimata 'Umar ibn Khththab tidak mungkin orang yang sudah mati dapat mendengar perkataan orang yang masih hidup:  

 

حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ سَمِعَ رَوْحَ بْنَ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ ذَكَرَ لَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ يَوْمَ بَدْرٍ بِأَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ رَجُلًا مِنْ صَنَادِيدِ قُرَيْشٍ فَقُذِفُوا فِي طَوِيٍّ مِنْ أَطْوَاءِ بَدْرٍ خَبِيثٍ مُخْبِثٍ وَكَانَ إِذَا ظَهَرَ عَلَى قَوْمٍ أَقَامَ بِالْعَرْصَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَلَمَّا كَانَ بِبَدْرٍ الْيَوْمَ الثَّالِثَ أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَشُدَّ عَلَيْهَا رَحْلُهَا ثُمَّ مَشَى وَاتَّبَعَهُ أَصْحَابُهُ وَقَالُوا مَا نُرَى يَنْطَلِقُ إِلَّا لِبَعْضِ حَاجَتِهِ حَتَّى قَامَ عَلَى شَفَةِ الرَّكِيِّ فَجَعَلَ يُنَادِيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ يَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالَ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لَا أَرْوَاحَ لَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ قَالَ قَتَادَةُ أَحْيَاهُمْ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ قَوْلَهُ تَوْبِيخًا وَتَصْغِيرًا وَنَقِيمَةً وَحَسْرَةً وَنَدَمًا [31]

 

Hal serupa dilakukan oleh 'Abdullah bin 'Amr ketika bertanya kepada Nabi SAW. tentang shalat duduk yang beliau lakukan yang bertentangan dengan sabda beliau sendiri:

 

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ أَبِي يَحْيَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ حُدِّثْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ قَالَ فَأَتَيْتُهُ فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِهِ فَقَالَ مَا لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قُلْتُ حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَّكَ قُلْتَ صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا قَالَ أَجَلْ وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كِلَاهُمَا عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي رِوَايَةِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي يَحْيَى الْأَعْرَجِ [32]

 

 Dua hadis diatas yang diriwayatkan oleh 'Umar ibn Khaththab dan 'Abdullah ibn 'Amr menunjukkan bahwa keduanya melakukan kritik langsung pada Nabi SAW. dengan metode perbandingan, hal serupa juga dilakukan oleh sahabat-sahabat lain baik secara pribadi maupun kolektif. Akan tetapi kritik yang dilakukan oleh 'Aisyah lebih konprehensif dibandingkan sahabat lain. Disamping karena intensitas pertemuan 'Aisyah dengan Nabi SAW.  dalam kehidupan sehari-hari juga dikarenakan kecerdasan dan keberanian 'Aisyah, minimal untuk bertanya sesuatu yang belum beliau pahami, dan banyaknya hadis yang diriwayatkan oleh 'Aisyah bukanlah faktor yang dominan beliau bersikap kritis, Abu Hurairah adalah perawi hadis terbanyak, 5374 hadis, tapi tidak banyak merlakukan kritik terhadap periwayatannya, bahkan Abu Hurairah sendiri yang mendapatkan kritik dari 'Aisyah.[33]  

Kritik matan  hadis yang dilakukan oleh 'Aisyah mencakup bidang tafsir, Aqidah, Hukum/fiqh dan Sosial kemasyarakatan.

 

  1. Kritik 'Aisyah dalam konteks tafsir al-Qur'an.

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَخْبَرَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ[34]

 

Metode 'Aisyah dalam penafsiran ini adalah  berpegang pada pemahaman teks ayat al-Qu'an surat al-Insyiqaq/84 : 8 ;

 فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا  "Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah". Siapapun pada dasarnya, ketika memahami suatu teks yang paling utama dijadikan dasar  pemahaman  adalah teks itu sendiri. Metode ini adalah dasar dalam memahami al-Qur'an, bahkan pada setiap teks apapun.

Tanpa ada ta'wil dan tafsir dari Nabi SAW. ayat ini akan dipahami bahwa setiap orang akan dihisab (dihitung) amal ibadahnya, termasuk orang yang beriman, yaitu orang yang diberikan kitab (catatan amalnya)  dari sebelah kanan (al-Insyiqaq/84 : 7) Maka bagaimana sabda Nabi SAW. dapat bertentangan dengan teks ayat?, bahwa beliau bersabda  : مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ  "siapa orang yang dihisab akan disiksa" sedangkan manusia semuanya pasti dihisab (dihitung) amal ibadahnya. Kritik 'Aisyah dalam bentuk pertanyaan dengan cara membandingkan antara ayat al-Qur'an dengan hadis Nabi SAW. menghasilkan sebuah penafsiran yang langsung datang dari Nabi SAW. bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah:  الْعَرْضُ  "dibeberkan" sedangkan yang dimaksud dalam sabda Nabi SAW.   مَنْ حُوسِبَ  عُذِّبَ  adalah  مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ  "orang yang diteliti dalam pemeriksaan  maka dia akan celaka". Tafsiran ayat ini menjadi mudah dan jelas karena ditafsirkan oleh Nabi SAW. yang mempunyai otoritas mutlak sebagai mufassir (an-Nahl/16:44) dan diakui oleh siapapun. Akan tetapi ini akan menimbulkan masalah pada saat pemahaman teks ayat yang terkesan bertentangan dengan hadis  pada saat Nabi SAW. sudah wafat. Kecerdasan dan keberanian 'Aisyah megkritik sabda Nabi SAW. dengan  metode yang beliau terapkan yaitu metode perbandingan antara ayat al-Qur'an dengan hadis Nabi SAW. Penerapan metode ini tidak hanya terjadi pada masa Nabi SAW. masih hidup, bahkan metode ini ditunjukkan pula setelah Nabi SAW. wafat. Seperti yang terjadi pada penafsiran surat al-An'am/6: 164:    وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى  "dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain"

 

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ تُوُفِّيَتْ ابْنَةٌ لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ وَجِئْنَا لِنَشْهَدَهَا وَحَضَرَهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَإِنِّي لَجَالِسٌ بَيْنَهُمَا أَوْ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى أَحَدِهِمَا ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَدْ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ بَعْضَ ذَلِكَ ثُمَّ حَدَّثَ قَالَ صَدَرْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ مَكَّةَ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا هُوَ بِرَكْبٍ تَحْتَ ظِلِّ سَمُرَةٍ فَقَالَ اذْهَبْ فَانْظُرْ مَنْ هَؤُلَاءِ الرَّكْبُ قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا صُهَيْبٌ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ادْعُهُ لِي فَرَجَعْتُ إِلَى صُهَيْبٍ فَقُلْتُ ارْتَحِلْ فَالْحَقْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ دَخَلَ صُهَيْبٌ يَبْكِي يَقُولُ وَا أَخَاهُ وَا صَاحِبَاهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا صُهَيْبُ أَتَبْكِي عَلَيَّ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عِنْدَ ذَلِكَ وَاللَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَاللَّهِ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا شَيْئًا[35]

Dalam hadis ini jelas 'Aisyah membandingkan antara pemahaman teks al-Qur'an dengan hadis Nabi SAW. Akan tetapi ada perbedaan antara kritik yang terjadi pada masa Nabi SAW. masih hidup dengan Nabi SAW. telah wafat. Pada saat Nabi SAW. masih hidup tentu saja tidak ada permasalahan, karena segala sesuatunya dapat diserahkan kepada Nabi SAW. Setelah nabi SAW. wafat ceritanya akan berbeda, minamal akan muncul perselisihan pendapat.

            'Aisyah tidak menerima hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh 'Umar ibn Khaththab  إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ (mayat disiksa dengan sebagian tangisan dari keluarganya). Pertama 'Aisyah mengkritik riwayat 'Umar ibn Khaththab dengan redaksi berbeda yang beliau dengar dari Nabi SAW. إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ  (Orang kafir akan ditambahkan siksanya dengan sebab tangisan keluarganya). Kemudian riwayat ini tidak lagi menjadi penting karena 'Aisyah langsung mengkonprontir hadis ini dengan pemahaman teks al-Qur'an  حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (Cukuplah bagi kalian al-Qur'an "dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" ). Hal ini menjelaskan tentang metode berpikir 'Aisyah dalam menyelesaikan kontradiksi antara hadis dengan al-Qur'an ':

1.                            Aisyah lebih berpegang pada pemahaman tekstual ayat apabila tidak ada indikasi pendukung bahwa ayat dapat dipahami secara kontekstual.

2.                            Pemahaman teks ayat al-Qur'an harus didahulukan dibandingkan pemahaman teks hadis

3.                            Apabila ada kontradiksi yang dapat diselesaikan dengan jalan ta'wil, maka hadis yang harus di ta'wil bukan al-Qur'an, kecuali Nabi yang menafsiran al-Qur'an.

 

 

  1. Kritik 'Aisyah dalam konteks Aqidah.

حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي حَسَّانَ الْأَعْرَجِ أَنَّ رَجُلَيْنِ دَخَلَا عَلَى عَائِشَةَ فَقَالَا إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِنَّمَا الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ قَالَ فَطَارَتْ شِقَّةٌ مِنْهَا فِي السَّمَاءِ وَشِقَّةٌ فِي الْأَرْضِ فَقَالَتْ وَالَّذِي أَنْزَلَ الْقُرْآنَ عَلَى أَبِي الْقَاسِمِ مَا هَكَذَا كَانَ يَقُولُ وَلَكِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّارِ وَالدَّابَّةِ ثُمَّ قَرَأَتْ عَائِشَةُ مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ [36]

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal yang menggambarkan tentang keberanian dan kecerdikan 'Aisyah dalam menolak matan hadis yang dilontarkan oleh Abu Hurairah. Pada awalnya 'Aisyah menyalahkan redaksi hadis إِنَّمَا الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ  yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan membenarkannya dengan redaksi     كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ الطِّيَرَةُ فِي الْمَرْأَةِ وَالدَّارِ وَالدَّابَّةِ . Kemudian 'Aisyah memperkuat sanggahannya terhadap Abu Hurairah dengan menggunakan dalil al-Qur'an (al-Hadid/57:22).  

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal melalui jalur periwayatan Abu Hurairah diriwayatkan juga oleh Abu Daud al-Thayalisi yang berisi kritikan 'Aisyah terhadap periwayatan Abu Hurairah. Hadis yang serupa dengan riwayat Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari[37] dan Imam Muslim[38] melalui jalur 'Abdullah ibn 'Umar dan Sahl ibn Sa'id al-Sa'idi. Berarti hadis ini bukan hanya didengar oleh Abu Hurairah saja, tapi juga didengar oleh 'Abdullah ibn 'Umar dan Sahl ibn Sa'id al-Sa'idi. Pada posisi ini Abu Hurairah berada pada pihak yang kuat dan 'Aisyah berada pada pihak yang lemah karena beliau sendirian, akan tetapi kritikan 'Aisyah terhadap hadis diatas lebih mengarah kepada keyakinan bahwa tidak ada suatu bencanapun yang terjadi dimuka bumi ini melainkan telah ditentukan oleh Allah dalam lauh al-mahfuz (al-Hadid/57:22):

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ

Dan jangan mengkaitkan suatu bencana apapun didunia ini dengan sebab sesuatu dianggap membawa sial.  

Redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, 'Abdullah ibn 'Umar atau Sahl ibn Sa'id al-Sa'idi tidak didengar oleh 'Aisyah langsung dari Nabi SAW. Kemungkinan apabila redaksi tersebut didengar langsung oleh 'Aisyah akan timbul pertanyaan kepada Nabi SAW. dengan cara membandingkan antara teks hadis dengan teks al-Qur'an, seperti yang pernah terjadi pada kasus hisab/perhitungan amal manusia. Kritikan 'Aisyah sebenarnya bukan hanya tertuju pada redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ataupun masalah keyakinan terhadap taqdir yang diyakini oleh 'Aisyah dari surat al-Hadid/57:22, akan tetapi lebih jauh melangkah kepada kritik sosial yang mendudukan perempuan sebagai makhluk pembawa sial bagi kaum laki-laki (pandangan misoginis).[39]  Metode 'Aisyah dalam kritik hadis dengan menggunakan metode perbandingan  menjadikan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa kritik 'Aisyah lebih mendekati kebenaran, Insya' Allah, karena lebih sesuai dengan larangan Nabi SAW. secara umum tentang tathayyur[40] dan sesuai al-Qur'an al-Hadid/57:22

 

  1. Kritik 'Aisyah dalam konteks Fiqh.

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ [41]

Pada hadis ini 'Aisyah mengkritik hadis yang diceritakan kepada beliau dengan redaksi : " مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ" Anjing, himar dan perempuan dapat memutuskan shalat." Ada dua kritikan yang dilontarkan oleh 'Aisyah terhadap hadis diatas. Pertama masalah sosio-kultur yang memposisikan kaum perempuan sama dengan anjing dan himar dalam hal membatalkan shalat, ketersinggungan 'Aisyah dinyatakan dengan redaksi " شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ " (kalian menyamakan kami dengan himar dan anjing)[42]. Kedua, kritik 'Aisyah dalam konteks hukum (fiqh). Metode yang digunakan oleh 'Aisyah dalam kritik ini adalah perbandingan antara hadis qauly[43] dengan hadis fi'ly[44]. 'Aisyah tidak menganggap bahwa perempuan dapat memutuskan orang yang shalat, karena hal ini bertentangan dengan realitas yang terjadi pada dirinya, bahwa Nabi SAW. pernah shalat di hadapan 'Aisyah yang sedang berbaring melintang di depan Nabi SAW. dan Nabi SAW. tidak memberikan komentar apapun tentang peristiwa tersebut. Kemudian bagaimana mesikapi hadis diatas yang berkualitas shaheh?. Jalan keluar yang diambil adalah jalan ta'wil bahwa yang dimasud kata "memutuskan shalat"  pada hadis diatas bukanlah "membatalkan shalat"  tapi membuyarkan konsentrasi shalat. Tidak satu mazhab fiqh-pun yang berpendapat bahwa melintasnya perempuan dihadapan orang yang shalat dapat membatalkan shalat[45].     

 

  1. Kritik 'Aisyah dalam konteks sosial kemasyarakatan (pemahaman kontekstual)

حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا قَالَ فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ قَالَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ[46]

 

Pada hadis diatas digambarkan tentang perintah Nabi SAW. supaya tidak menghalangi kaum perempuan yang akan ikut shalat berjamaah bersama Nabi SAW. di masjid apabila mereka telah minta izin. لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا . Pernyataan Nabi SAW. ternyata menimbulkan penolakan dari Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar, dia mengatakan "Demi Allah aku akan mencegah mereka"  (وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ) yang mendengar hadis tersebut dari 'Abdullah bin 'Umar. Sikap penolakan Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar membuat 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khahthab sangat marah sehingga memaki Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar dengan makian, menurut Salim ibn 'Adillah, yang berlum pernah dia dengar diungkapkan oleh 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khahthab sebelumnya. Reaksi spontan 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khahthab terhadap sikap Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar yang menolak hadis yang diriwayatkannya dimungkinkan karena sikap sentimentilnya terhadap hadis atau karena sentimentil terhadap status dirinya sebagai orang tua yang tidak ingin dibantah oleh anaknya sendiri.

            Sikap penolakan terhadap hadis ini tidak hanya dilakukan oleh Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar, 'Aisyah juga melakukannya. Akan tetapi penolakan 'Aisyah terhadap pengamalan hadis ini tidaklah dengan sikap arogan seperti yang dilakukan oleh Bilal ibn 'Abdillah ibn 'Umar. Penolakan 'Aisyah lebih halus dan rasional. Pada dasarnya 'Aisyah juga menolak hadis diatas dari sisi matan hadis, akan tetapi penolakan 'Aisyah berdasarkan rasional dan kontetual. Seperti yang diungkapkan oleh 'Amrah binti 'Abd al-Rahman:

  

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالَ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ أَنِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُنِعْنَ الْمَسْجِدَ قَالَتْ نَعَمْ[47]

 

Pemahaman 'Aisyah terhadap hadis ini sangatlah kontektual, tanpa harus mengatakan menolak hadis ini, pernyataan 'Aisyah jelas menggambarkan penolakannya untuk mengamalkan hadis diatas apabila dipahami secara kontektual dari sosio-kulltur yang berbeda pada saat hadis tersebut diucapkan dengan kondisi pada saat 'Aisyah berada. Pernyataan 'Aisyah "kalau Nabi SAW. melihat apa yang terjadi pada kaum perempuan saat ini pasti beliau akan melarang mereka untuk pergi ke masjid, seperti bani Israil melarang perempuan mereka untuk pergi ke Masjid". Memahami kondisi sosio-kultur masyarakat adalah salah satu metode 'Aisyah dalam melakukan kritik hadis. Ini berarti bahwa 'Aisyah adalah permpuan yang peduli dan mengamati tentang perubahan sosial yang terjadi, sehingga ketika ada perbedaan konteks pada masa Nabi SAW. dengan konteks setelah beliau wafat menjadikan ada perubahan paradigma untuk memahami hadis. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa  hadis dapat dipahami secara kontektual dengan metode yang telah diterapkan oleh 'Aisyah.

 

E. STANDARISASI DALAM KRITIK HADIS.

            Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam melakukan kritik adalah standar yang digunakan terhadap obyek yang dikritik. Sahabat-sahabat  Nabi SAW. selain 'Aisyah juga pernah melakukan kritik hadis baik sanad maupun matn hadis. Seperti yang terjadi pada kasus Abu  Bakr al-Siddiq dalam pembagian warisan untuk seorang nenek  seperti yang diriwayatkan oleh Mughirah ibn Syu'bah. Abu Bakar meminta dukungan dari sahabat lain yang mengetahui riwayat tersebut dari Nabi SAW. kemudian Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian atas riwayat Mughirah ibn Syu'bah.[48]. 'Umar ibn Khaththab juga pernah melakukan hal sama terhadap Abi Sa'id al-Khudri yang mendapat dukungan dari Ubay ibn Ka'ab[49]. 'Utman ibn 'Affan[50] dan 'Ali ibn Abi Thalib[51] juga melakan hal yang sama untuk memastikan kebenaran informasi yang sampai kepada mereka yang dinisbahkan kepada Nabi SAW..

Metode yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Siddiq dengan  meminta syahadah (saksi), 'Umar ibn Khaththab meminta bayyinah (bukti/saksi), 'Utsman ibn 'Affan meminta Iqrar (pengakuan), sedangkan 'Ali bin Abi Thalid meminta halaf (sumpah), tidak menunjukan adanya indikasi kritik terhadap perawi hadis (orang yang menyampaikan berita), juga tidak adanya standarisasi yang mereka gunakan untuk menolak atau menerima seorang sebagai pembawa berita (rawi hadis) tetapi sekedar tasabbut (memastikan) dan ta'kid (menguatkan). Adanya orang lain (syahid) untuk menjadi saksi tidak menjadikan persyaratan mutlak, karena banyak hadis yang diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad) dapat diterima, yang mereka lakukan hanyalah merupakan tindakan hati-hati (ihtiyath).  

'Aisyah telah melakukan kritik langsung terhadap perawi hadis, seperti yang terjadi pada kasus Abdulah bin 'Umar. Dengan tuduhan  :   وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ (dia lupa atau salah) atau فَلَمْ يَحْفَظْهُ (dia tidak hafal). Kata-kata 'Aisyah  diatas mengindikasikan bahwa beliau telah menetapkan standar kekuatan hafalan (dhabith) untuk seorang pembawa berita (rawi hadis).

Demikian juga dalam matan hadis, 'Aisyah telah mempunyai standarisasi tersendiri untuk menolak atau menerima sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain bahkan informasi dari Nabi Saw. juga tidak luput dari kritik 'Aisyah dengan standar yang beliau tetapkan sendiri. Metode yang digunakan 'Aisyah adalah metode perbandingan,  yaitu:

  1. Perbandingan antara al-Qur'an dengan hadis.
  2. Perbandingan antara satu riwayat dengan riwayat lain
  3. Perbandingan antara hadis fi'ly dengan hadis qauly.
  4. Perbandingan antara hadis dengan logika.
  5. Perbandingan antara hadis dengan konteks sosio-kultural.

Sedangkan standar yang digunakan untuk mengkritik sebuah hadis beliau menggunakan standar :

  1. Al-Qur'an dan ilmu yang terkait dengan al-Qur'an seperti Asbab al-Nuzul, munasabah dan tafsir.
  2. Hadis-hadis yang beliau dengar langsung dari Nabi SAW. atau yang beliau saksikan.
  3. Logika, pemahaman kontekstual.
  4. Sejarah.
  5. Kepribadian Nabi SAW.

 Dengan demikian 'Aisyah telah menetapkan standarisasi tersendiri untuk mengkritik sebuah hadis. Sanad bukanlah satu-satunya komponen yang dapat menentukan ke-shahih-an hadis, matn hadis juga mempunyai peranan yang sangat dominan dalam menentukan ke-shahih-an hadis. Berdasarkan standarisasi  yang digunakan oleh 'Aisyah inilah ilmu kritik hadis, terutama pada kritik matan, mengalami perkembangan. 'Aisyah bukan satu-satunya sahabat yang melakukan kritik hadis pada masa Nabi SAW. ataupun pada masa sahabat, 'Umar ibn Khaththab juga pernah melakukan hal yang sama, akan tetapi karena intensitas kritik yang dilakukan oleh 'Aisyah maka terlihat pola yang digunakan oleh 'Aisyah dalam melakukan kritik. Sehingga Imam al-Zarkasyi mengumpulkan kritik-kritik 'Aisyah terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain dalam karya beliau yang berjudul:  Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah yang berisi 80 hadis yang dikritik oleh 'Aisyah terhadap 22 sahabat. Dengan kenyataan yang telah digambarkan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa 'Aisyah adalah kritikus hadis pertama dalam islam yang telah menggunakan standarisasi dan metode yang baku.     

 

F. KESIMPULAN.

            Hadis bukanlah suatu teks yang baku dan sakral. Teks hadis dapat dipahami sesuai dengan keinginan yang mengungkapkannya. Ketika Nabi SAW. masih hidup dengan mudah dapat memperoleh kejelasan dari Nabi SAW. secara langsung apa yang dikehendari dari pernyataan yang beliau pernah lontarkan. Permasalahan muncul setelah beliau wafat siapa yang dapat menjelaskan maksud dari teks yang telah beredar?, mungkin orang yang sangat dekat atau sangat mengenal karakter beliau yang dapat menjelaskan maksud pernyataan Nabi SAW.

'Aisyah salah satu orang terdekat Nabi SAW. keberanian  'Aisyah mengkritik hadis bukanlah tanpa dasar. Pada masa Nabi SAW. masih hidup beliau acap kali melakukan kritik, walaupun dalam bentuk pertanyaan. Setelah beliau wafat banyak hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi SAW. mendapat kritikan dari 'Aisyah. Kedekannya dengan Nabi SAW. membuat 'Aisyah sangat mengenal karakter Nabi SAW. sehingga tanpa ragu beliau mengkritik riwayat yang tida sesuai dengan karakter dasar Nabi SAW. Tetapi yang menjadi istimewa adalah karena beliau seorang perempuan. Kepandaian dan keberaniannya menjadikan hadis Nabi SAW. terasa lebih hidup berada ditangannya.

Apabila jender menjadi permasalahan pada saat ini, 'Aisyah adalah orang yang pertama membuktikan  bahwa jender bukanlah menjadi masalah dalam dunia inteletual Islam terutama dalam bidang hadis. Sebagai orang yang berani bersikap kritis kepada Nabi SAW. sekalipun, menjadikan beliau orang yang pertama melakukan kritik hadis baik sisi sanad ataupun matan. Mengapa sesuatu yang telah dimulai oleh seorang perempuan seperti 'Aisyah tidak dilanjutkan oleh 'Aisyah-'Aisyah lain pada sekarang dan yang akan datang. Mengapa jarang sekali ada ahli-ahli hadis dari kalangan perempuan?. Permasahannya mungkin bukan pada sisi jender, akan tetapi kualitas, bakat dan minat yang tidak dimiliki oleh kaum perempuan. Yang pada akhirnya kaum perempuan sendiri yang memarjinalkan diri mereka. 'Aisyah adalah sebuah motifasi dan inspirasi untuk kemajuan kaum perempuan. In Sa' Allah.

      

--- افهم ---

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR FUSTAKA

 

 Abu Zahwu, Muhammad, Al-Hadist wa al –Muhadditsun 'Inayah al-Ummah al-Islamiyah bi al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut, Dar al-Kutb al-'Araby, 1984

 

Abu Su'ud Badr, Abdullah Dr., Tafsir Umm al-Mu'minin 'Aisyah Radhiallahu 'Anha. Terjemah: Gazi Saloom dan Ahmad Syaikhu, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000, cet. Ke-I.

 

Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah: H. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-I.

 

-------, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, tth.

 

-------, Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut Al-Maktabah al-Islamy, 1980.

 

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma'il, Matn al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah al-Sindi, Beirut: Dar el-Fikr, tth.

 

Al-Dumainy, Musfir 'Azamullah, Maqayis Naqd Matn al-Sunnah, Riyadh: tt, 1984, Cet. Ke-I.

 

Al-Khatib, Muhammad 'Ajjaj, Ushul al-Hadis 'Ulumuh wa Musthalahah, Beirut; Dar el-Fikr, 1989.

 

------, Al-Sunah Qobl al-Tadwin, Beirut Dar el-Fikr, 1990

 

Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas hadis-hadis shaheh, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, Cet. Ke- I.

 

Al-Nasa'i,  Abu 'Abd Al-Rahman bin Syu'aib, Sunan al-Nasa'i al-Mujtaba, Mesir: Musthafa al-Bab al-Halab, 1964.

 

Al-Naisabury, Abi al-Husein Muslim bin Hajjaj, Shaheh Muslim, Beirut: Dar el-Fikr, 1993

 

Al-Sijistany, Abu Daud Sulaiman al-Ays'asy, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar el-Fikr, 1994

 

Al-Tirmizi, Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar el-Fikr, 1983

 

Ya'qub, Ali Musthafa,  Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, Cet. Ke-I,

 

Al-Zarkasyi, Badr al-Din,  Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah, Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M. Cet. Ke-IV.

 

  

 



[1]Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang orang yang paling beliau cintai, beliau menjawab 'Aisyah, sedangkan dari pihak laki-laki, beliau menjawab ayah  'Aisyah (Abu Bakr al-Shiddiq):

 

حَدَّثَنَا حَسَنٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ عَفَّانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ صُهَيْبٍ الْحَذَّاءِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْن عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا سَأَلَهُ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا حَقُّهُ قَالَ يَذْبَحُهُ ذَبْحًا وَلَا يَأْخُذُ بِعُنُقِهِ فَيَقْطَعُهُ

(البخاري: كتاب المغازي , باب غزوة ذات السلاسل. مسلم:  كتاب فضائل الصحابة . الترميذي : كتاب المناقب )

 

[2]Rasulullah SAW. juga memuji keutamaan 'Aisyah dengan perbandingan antara  makanan sarid dengan makanan lainnya:

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ

(البخاري: كتاب المناقب , باب فضل عائشة رضي الله عنها . مسلم: فضائل الصحابة . الترميذي :كتاب المناقب)

 

[3] Abu Hurairah meriwayatkan sebanyak 5374 hadis, Aisyah meriwayatkan 2210 hadis, 'Abdulah bin 'Abbas (w. 68 H.)  meriwatkan 1660 hadis, 'Abdullah bin 'Umar (w. 73 h.) meriwayatkan 1630 hadis, Jabir bin 'Abdullah (w. 78 H.)  meriwayatkan 1540 hadis, Anas bin Malik (w. 92 H.) meriwayatkan 1286 hadis, Abu Sai'id al-Khudri (w. 74 H.) meriwayatkan 1180, perawi hadis lain setelah mereka meriwayatkan dibawah  1000 hadis.  (Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadist wa al –Muhadditsun,[Beirut, Dar al-Kutb al-'Araby], 1984, h. 133-150.)

[4] Badr al-Din al-Zarkasyi, Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah,( Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M.) Cet. Ke-IV, h. 33

[5] Shaheh Bukhari, Kitab; Al-Manaqib, Bab Tazwij al-Nabi SAW. 'Aisyah.

 

حَدَّثَنِي عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تُوُفِّيَتْ خَدِيجَةُ قَبْلَ مَخْرَجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ بِثَلَاثِ سِنِينَ فَلَبِثَ سَنَتَيْنِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ وَنَكَحَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ثُمَّ بَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ  

 

[6] Shaheh Muslim, Kitab: An-Nikah, Bab: Tazwij al-Ab al-Bikr al-Shagirah.

 

وحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ يَحْيَى وَإِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

 

[7]'Abdullah Abu Su'ud Badr, Dr., Tafsir Umm al-Mu'minin 'Aisyah Radhiallahu 'Anha. Terjemah: Gazi Saloom dan Ahmad Syaikhu,( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), cet. Ke-I, h. 15-16

[8] Shaheh Bukhari, Kitab; Al-Nikal, Bab Mauizah al-Rajul Ibnatahu li Hal Zaujiha.

[9] Ibid.,

[10] Menurut Muhammad Musthafa Azami, yang dimaksud fitnah oleh Ibn Sirin adalah terjadinya perselisihan antara Ibn Zubair dengan Abd al-Malik ibn Marwan sekitar tahun 70 Hijriyah. Sebelumnya juga telah terjadi fitnah antara 'Ali dengan Mu'awiyah. Argumentasi ini sekaligus penolakan terhadap  pendapat Schacht, yang mengatakan bahwa fitnah tersebut terjadi pada masa terbunuhnya al-Walid ibn Yazid, 120 H., sedangkan Ibn Sirin wafat tahun 110, maka pendapat Schacht tidak benar dan terbanhtah. (Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah: H. Ali Mustafa Ya'qub, [Jakarta: pustaka Firdaus, 1994], Cet. Ke-I h. 535). Sedangkan menurut Ali Mustafa Ya'qub yang dimaksud fitnah oleh Ibn Sirin adalah  terbunuhnya 'Utsman ibn 'Affan tahun 36 Hijriyah. Karena  terbunuhnya 'Utsman ibn 'Affan dan  al-Husein ibn 'Ali pada tahun 61 Hijriyah yang diiringi dengan lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadis, karena untuk memperoleh legitimasi masing-masing kelompok mencari dukungan dari hadis-hadis Nabi SAW. Apabila hadis hadis yang dicari tidak ditemukan mereka membuat hadis palsu. (Ali Mustafa Ya'qub, Kritik Hadis, [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995], Cet. Ke-I, h. 3-4)     

[11]Abu Husein Muslim Ibn Hajjaj, Shaheh Muslim, Beirut: Dar el-Fikr, 1993, Jilid I, Muqoddimah, h. 10  

  [12]Abu Daud Sulaeman Ibn al-'Asy'asy al—Sijistany, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar el-Fikr, 1994, Jilid III h.  47, no; 4894 ,Kitab al-Fara' idh, Bab fi al-Jaddah.

 

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جَاءَتْ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ وَلَكِنْ هُوَ ذَلِكَ السُّدُسُ فَإِنْ اجْتَمَعْتُمَا فِيهِ فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا  

[13]Shaheh Muslim, Kitab al-Adab, Bab al-Isti'zan

 

حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بُكَيْرٍ النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا وَاللَّهِ يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِي مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَيَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلَّا أَوْجَعْتُكَ فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ لَا يَقُومُ مَعَهُ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ فِي حَدِيثِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَقُمْتُ مَعَهُ فَذَهَبْتُ إِلَى عُمَرَ فَشَهِدْتُ

  

[14]Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab Musnad al-'Asyarah al-Mubasysyarah bi al-Jannah, Bab Musnad 'Utsman ibn 'Affan.

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي سَالِمٌ أَبُو النَّضْرِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ عِنْدَ الْمَقَاعِدِ فَتَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ لِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ رَأَيْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ هَذَا قَالُوا نَعَمْ قَالَ أَبِي هَذَا الْعَدَنِيُّ كَانَ بِمَكَّةَ مُسْتَمْلِيَ ابْنِ عُيَيْنَةَ

 

[15]Sunan al-Tirmizi, Kitab Tafsir al-Qur'an, Bab Wa min Surah Ali 'Imran, Kitab Shalat, Bab Ma Jaa fi al-Shalat 'ind al-Taubah. Sunan Abi Daud, Kitab al-Shalah, bab Fi al-Istighfar. Sunan Ibn Majah Kitab Iqamah al-Shalat wa al-Sunnah fiha, Bab Ma Jaa fi Anna al-Shalat Kaffarah:

 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَال سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ إِنِّي كُنْتُ رَجُلًا إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ وَإِذَا حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ وَإِنَّهُ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

[16] Sunan Abi Daud, Kitab al-Adab, Bab Kam Marrah Yusallimu al-Rajul fi al-Isti'zan.  

[17] Ibid.

[18] Shaheh Muslim, Kitab Jana'iz, bab al-Mayyit Yu'azzab bi Bukai Ahlih 'Alaih, h. 1548  

[19] Ibid., hadis 1546

[20] Ilmu Jarh wa Ta'dil yang sudah sistematis menunjukkan strata tertentu untuk kualitas seorang perriwayat hadis. Seperti untuk tingkatan jarh (penilaian negatif)  yang paling berat menggunakan  kata أكذب الناس (manusia paling dusta), sedangkan tingkatan jarh yang paling ringan digunakan kata حديث ضعف   atau فيه مقال . Adapun untuk tingkatan ta'dil (penilaian positif ) yang paling tinggi digunakan kata: أثبت الناس  atau   أوثق الناس , sedangkan untuk tingkatan yang paling rendah digunakan kata: صالح , يكتب حدييثه  atau  صالح ا لحديث. Kata-kata seperti ini tidak disepakati oleh seluruh ulama jarh wa ta'dil , terkadang mereka mempunyai rumusan tersendiri untuk menilai status seorang periwayat hadis, baik sisi negatif ataupun positif

 .             

[21]Muhammad 'Ajjaj al-Khatib,Ushul al-Hadis, (Beirut; Dar el-Fikr, 1998), h. 305

[22] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas hadis-hadis shaheh, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), Cet. Ke- I, h. 44

[23]  Muhammad Mustafa  Azami, Studies  in Hadith Metodology and Literature,( Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), h. 52

[24] Ahmad Fudhaili., Loc. Cit.

[25] Musfir 'Azamullah al-Dumainy, Maqayis Naqd Matn al-Sunnah,(Riyadh: tt, 1984), Cet. Ke-I, h. 62-161  

[26] Muhammad Mustafa  Azami, Studies  in Hadith Metodology and Literatur, Op. Cit. H. 52

[27] Footnote. nomor 8 dan 9.  

[28] Ibn Abi Mulaikah bernama 'Abdullah ibn 'Ubaidillah ibn Abi Mulaikah, ternasuk dalam kelompok tabi'in generasi pertengahan (Thabaqah al-Wustha min Tabi'in), nama julukannya Abu Muhammad. Wafat 117 Hijriyah. Beliau banyak meriwayatkan hadis dari 'Aisyah diantaranya hadis-hadis yang bernuansa kritikan 'Aisyah terhadap Nabi SAW. ataupun para sahabat, maka wajar kalau beliau menyatakan bahwa 'Aisyah adalah orang yang kritis dalam pengertian selalu bertanya pada hal-hal yang belum dipahaminya. Dalam shaheh Bukhari ada 23 hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Mulaikah dari 'Aisyah, dalam Shaheh Muslim ada 13 hadis, dalam Jami' al-Tirmizi ada 10 hadis, dalam sunan An-Nasa'i ada 11 hadis, dalam Sunan Abi Daud ada 6 hadis, dalam Sunan Ibn majah ada 11 hadis, dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal ada 2 hadis dan dalam sunan al-Darimi ada 3 hadis.    

[29]Shaheh  Bukhary, Bab al-'Ilm, Kitab Man Sami'a syaian fa lam Yufhimhu fa Raja'a fihi  

[30] Kitab ini ditahqiq oleh Sa'id al-Afghany, di terbitkan oleh Maktabah al-Islamy. Cetakan pertama  (1939 M./1358 H.) dicetak di Damasykus, sedangkan cetakan ke dua (1970 M./1390 H.) dan cetakan ke tiga (1980 M./1390 H.) dicetak di Beirut

[31] Shaheh Bukhari, Kitab al-Maghazy, Bab Qotl Abi Jahl

[32] Shaheh Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qoshriha, Bab Jawaz al-Nafilah Qiman wa Qoidan wa Fi'il Ba'd al-Rak'ati.

[33] Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak mendapatkan kritik dari 'Aisyah. Imam Badr al-Din al-Zarkasyih  Al-Ijabah li Irad ma Adrakathu 'Aisyah 'ala Shahabah,( Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1980H/1400M.) Cet. Ke-IV), mengumpulkan 11 hadis riwayat Abu Hurairah yang dikritik oleh 'Aisyah, ini adalah jumlah terbanyak yang dikritik oleh 'Aisyah, selanjutnya 'Abdullah ibn 'Umar 10 hadis, kemudian 'Umar ibn Khaththab dan 'Abdullah bin 'Abbas, masing-masing 8 hadis. Dilihat dari jumlah hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat semakin banyak pula kritikan yang dilontarkan oleh 'Aisyah.  

[34] Shaheh Bukhari, Kitab al-'Ilm Bab Man Sami'a Syaian fa lam Yafhamhu fa Raja'a fihi hatta Yufhimahu  

[35] Shaheh Bukhari, Kitab al-Janaiz, Bab  Qaul al-Nabi SAW. Yu'azzabu al-Mayyit...

[36] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Kitab Musnad al-Anshar, no. 24894

[37] Shaheh Bukhari dalam Kitab al-Nikah,  

[38] Shaheh Muslim dalam  Kitab al-Salam, Bab al-Thiarah wa al-Fa'al.

[39] Kritikan 'Asiyah terhadap hadis ini dari sisi jender, yang terkesan misoginis (merendahkan perempuan) telah dibahas oleh penulis dalam  " Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-hadis Shahih" Op. Cit.  h.174 - 194   

[40]  Badr al-Din al-Zarkasyi, Op. Cit. h. 104

[41]  Shaheh Bukhari, Kitab al-Shalat, Bab Man Qola La Yaqtha' al-Shalat Syai'   

[42] Kritik 'Aisyah yang pertama berkaitan dengan perspektif jender, yaitu ada kesan misoginis (merendahkan perempuan)  dalam hadis ini. Untuk kritik 'Aisyah yang pertama ini tidak diperdalam oleh penulis karena tidak relevan dengan sub sudul yaitu "Kritik 'Aisyah dalam konteks fiqh". Akan tetapi kritik 'Aisyah pada hadis ini dalam perspeftif jender telah dibahas oleh penulis dalam " Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-hadis Shahih" Op. Cit.  h.166-174      

[43] Hadis yang menjabarkan perkataan (sabda) Nabi SAW. yang didengar oleh sahabat.

[44] Hadis yang menggambarkan  tentang perbuatan  Nabi SAW. yang disaksikan oleh sahabat  

[45] Untuk lengkapnya pembahasan ini lihat " Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-hadis Shahih" Op. Cit.  h.166-174    

[46] Shaheh Muslim, Kitab al-Shalat, Bab Khuruj al-Nisa' ila al-Masjid Iza Lam Yatarattab

[47]Shaheh Muslim, Kitab al-Shalat, Bab Khuruj al-Nisa' ila al-Masjid Iza Lam Yatarattab

  [48]Abu Daud Sulaeman Ibn al-'Asy'asy al—Sijistany, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar el-Fikr, 1994, Jilid III h.  47, no; 4894 ,Kitab al-Fara' idh, Bab fi al-Jaddah.

 

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جَاءَتْ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ وَلَكِنْ هُوَ ذَلِكَ السُّدُسُ فَإِنْ اجْتَمَعْتُمَا فِيهِ فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا  

[49]Shaheh Muslim, Kitab al-Adab, Bab al-Isti'zan

 

حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بُكَيْرٍ النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا وَاللَّهِ يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِي مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَيَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلَّا أَوْجَعْتُكَ فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ لَا يَقُومُ مَعَهُ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ فِي حَدِيثِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَقُمْتُ مَعَهُ فَذَهَبْتُ إِلَى عُمَرَ فَشَهِدْتُ

  

[50]Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab Musnad al-'Asyarah al-Mubasysyarah bi al-Jannah, Bab Musnad 'Utsman ibn 'Affan.

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي سَالِمٌ أَبُو النَّضْرِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ عِنْدَ الْمَقَاعِدِ فَتَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ لِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ رَأَيْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ هَذَا قَالُوا نَعَمْ قَالَ أَبِي هَذَا الْعَدَنِيُّ كَانَ بِمَكَّةَ مُسْتَمْلِيَ ابْنِ عُيَيْنَةَ

 

[51]Sunan al-Tirmizi, Kitab Tafsir al-Qur'an, Bab Wa min Surah Ali 'Imran, Kitab Shalat, Bab Ma Jaa fi al-Shalat 'ind al-Taubah. Sunan Abi Daud, Kitab al-Shalah, bab Fi al-Istighfar. Sunan Ibn Majah Kitab Iqamah al-Shalat wa al-Sunnah fiha, Bab Ma Jaa fi Anna al-Shalat Kaffarah:

 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَال سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ إِنِّي كُنْتُ رَجُلًا إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ وَإِذَا حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ وَإِنَّهُ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ